SATELITNEWS.COM, JAKARTA – Politik uang atau money politics menjadi salah satu ancaman serius pada pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) 2024. Bahkan, juga menjadi ancaman pada setiap momen pilkada di setiap daerah di Indonesia. Sehingga para pelaku harus mendapat hukuman setimpal agar menimbulkan efek jera.
“Perlu ada sanksi lain yang bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan siapapun yang terlibat dalam politik uang dalam Pemilu 2024,” kata Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Divisi Sumber Daya Manusia, Organisasi, Pendidikan dan Pelatihan dan Penelitian dan Pengembangan, Parsadaan Harahap dalam Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, di Jakarta, kemarin.
Parsadaan mengusulkan sanksi yang berdampak kepada status kekuasaan para pelaku politik uang. Misalnya, kata Parasadaan, sanksi dalam bentuk denda atau kurungan badan dalam bentuk vonis di peradilan.
“Perlu dirumuskan yang memberikan efek kepada status kekuasaannya. Jadi pendekatannya lebih administratif dan itu lebih efektif,” jelasnya.
Menurut Parsadaan, sanksi yang berdampak kepada status kekuasaan para pelaku politik uang penting ditegakkan. Soalnya, kata dia, tujuan dari politik uang adalah berkuasa. Sehingga, ketika kasus politik uangnya diproses secara hukum, kekuasannya akan terganggu.
“Ini saya kira bisa menjadi salah satu yang perlu didiskusikan lebih lanjut,” ujarnya.
Parsadaan menjelaskan, dalam politik uang berlaku supply and demand yang mengakar di masyarakat. Sehingga, kata dia, perlu ada strategi khusus di lapangan untuk mencegah adanya politik uang.
“Di kalangan peserta pemilu dan aktor-aktor politik ada istilah lebih baik menang bermasalah daripada kalah terhormat atau kalah bermartabat. Hal tersebut yang memicu munculnya politik uang,” kata dia.
Kondisi tersebut, kata Parsadaan, juga memicu situasi di mana politik uang dimainkan terlebih dahulu, urusan gugatan atau yang lainnya urusan belakangan. Soalnya, kata dia, yang penting menang dulu, walaupun ada masalah.
“Jadi, dalam penegakan hukum pemilu, perlu dibuat cara yang berbeda di tahun 2024,” usulnya.
Parsadaan mengenang pengalamannya di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bahwa, penalti atau sanksi yang diberikan tidak berdampak kepada tujuan pelaku melakukan politik uang. Sebab, tujuan pelaku politik uang ialah kekuasaan.
Kata Parasadaan, banyak kasus-kasus politik yang yang terjadi saat pemilu atau pilkada. Namun, kata dia, ketika pelaku sudah diadukan atau sudah diproses, pelaku menghilang atau tidak bisa ditemukan saat dicari.
“Tapi ketika sudah kadaluarsa yang bersangkutan muncul, kemudian dilantik atau kemudian berkuasa,” ungkapnya.
Sementara, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana memetakan, sejumlah kejanggalan yang terindikasi sebagai praktik politik uang yang terjadi selama pemilu 2019. Di antaranya, tingginya permintaan penukaran uang pecahan Rp 50 ribu dan Rp100 ribu saat masa tenang atau selama tiga hari sebelum tiba waktu pemungutan suara.
“Di Jakarta saja, jumlah permintaan penukaran pecahan uang mencapai Rp113 miliar,” ujar Ivan dalam keterangannya, kemarin.
Menurut Ivan, transaksi tersebut tercatat dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK) para peserta pemilu. Sebaliknya, menurut RKDK peserta pemilu, transaksi yang tercatat selama masa kampanye justru lebih rendah dibanding saat masa tenang. (rm)
Diskusi tentang ini post