SATELITNEWS.COM, JAKARTA – Menjelang Pemilu 2024, sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya, isu politik uang alias money politic kembali mengemuka.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, politik uang masih terjadi lantaran sebagian masyarakat Indonesia belum sejahtera.
“Kenapa money politic masih berjalan? Saya harus sampaikan, 50 persen masyarakat kita itu belum sejahtera,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Selain itu, tingkat pendidikan yang belum baik juga menjadi faktor masih maraknya money politic di Tanah Air.
“Sebanyak 50 persen lebih itu juga tingkat pendidikannya belum baik. Itu sebetulnya syarat mutlak kalau kita ingin demokrasi kita sehat,” ingatnya.
Alex mengatakan, jangan hanya berharap calon pimpinan yang berintegritas. Namun, yang tidak kalah penting, adalah bagaimana masyarakat selaku pemilih juga berintegritas.
Menurut dia, kuncinya adalah mendorong masyarakat untuk menolak setiap tawaran money politic.
Hal itu, kata dia, bukan hanya tugas KPK saja. Lebih lanjut, Alex juga menyinggung asal uang yang dibagikan kepada masyarakat dalam kegiatan politik uang.
“Memang dari berbagai survei, termasuk survei KPK sendiri, uang yang dibagi-bagi itu antara lain berasal dari dugaan penyimpangan atau korupsi, otomatis terkait dengan anggaran, baik APBN maupun APBD. Bagaimana kita menjaga APBN atau APBD agar tidak disalahgunakan, tidak dikorupsi,” ungkapnya.
Alex menyebut, hal itu juga menjadi tugas dari para pemangku kepentingan. Dalam hal ini, Inspektorat atau bendahara di Pemerintah Daerah maupun di Pemerintah Pusat.
Masalahnya, kata Alex, tidak semua masyarakat mau melaporkan perbuatan-perbuatan curang yang diketahui.
“Persoalannya, sekali lagi, ini juga harus kami sampaikan, ternyata tidak semua masyarakat itu mau melaporkan perbuatan-perbuatan curang yang dia ketahui. Kenapa? Bisa mereka khawatir juga,” ungkap Alex.
“Kalau saya lapor, posisi saya selaku penyelenggara negara akan terancam, dan lain sebagainya,” imbuh dia.
Sementara itu, hasil pemetaan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ditemukan banyak daerah yang masuk dalam kategori rawan politik uang. Nah, salah satu solusi untuk meminimalisir praktik politik uang, yakni dengan memasifkan gerakan moral.
Anggota Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan, pemetaan kerawanan isu politik uang menjadi kebutuhan dalam menghadapi Pemilu 2024. Sebab, potret pelanggaran politik uang relatif tinggi jika berkaca pada pemilu sebelumnya.
“Situasi kekinian, sekarang modus operandinya banyak. Makanya dilakukan pemetaan,” kata Lolly, kemarin.
Pemetaan daerah yang rawan politik uang dikategorikan menjadi daerah dengan kerawanan sangat tinggi dan sedang.
Daerah dengan kerawanan sangat tinggi adalah Maluku Utara, Lampung, Jawa Barat, Banten, dan Sulawesi Utara.
Daerah dengan kerawanan sedang adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Semua orang bertanggung jawab untuk tahu soal mitigasi dan pemetaan ini, lalu punya upaya sama yang tepat untuk mencegahnya,” ajak Lolly.
Lolly juga menyoroti pelaku politik uang yang satu di antaranya penyelenggara ad hoc. Temuan tersebut terjadi pada rentang 2019 hingga 2020, dan sudah ada putusan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Apa warning-nya buat Bawaslu? Tidak hanya buat Bawaslu, karena kalau penyelenggara berarti dia juga menyangkut KPU. Warning-nya, kami harus lebih ketat dan kuat lagi memastikan jajaran tak ada yang nakal,” tuturnya.
Lolly mengatakan, masa kerja yang sebentar, dekat dengan kepentingan dan dekat dengan konflik, menjadi alasan badan ad hoc rawan politik uang. Ditambah lagi, gaji penyelenggara ad hoc yang tidak terlalu tinggi.
“Dalam posisi seperti itu, maka penyelenggara ad hoc menjadi sangat rentan sebagai pelaku politik uang,” tandasnya.
Anggota KPU Parsadaan Harahap mengatakan, pemetaan daerah rawan politik yang dilakukan Bawaslu ini dapat menjadi peringatan bagi penyelenggara pemilu, lembaga negara, maupun masyarakat. Karena itu, semua pihak diharapkan dapat bekerja sama mencegah terjadinya politik uang.
Dia juga berharap, pemetaan ini selaras dengan strategi pencegahan yang konkret dari Bawaslu. Sebab, variasi jenis dan pelaku politik uang semakin beragam.
“Apa mungkin pelakunya melakukan pengkaderan, atau aktor di tingkat lokal yang terlatih, maka bentuknya variatif, dari mulai konvensional sampai sifatnya mengarah kejahatan kera putih,” tutur Parsadaan.
Parsadaan berharap, hukuman bagi pelaku politik uang bisa menimbulkan efek kepada status kekuasaan. Dia menilai, hukuman yang ada seperti kurungan, tidak mampu menimbulkan efek jera.
Ditambah lagi, kata dia, terdapat pandangan di kalangan peserta pemilu bahwa lebih baik menang bermasalah daripada kalah terhormat.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017 Ida Budhiati mengusulkan gerakan moral sebagai salah satu solusi untuk mengakhiri praktik politik uang pada pemilu.
Sebab, menurutnya, masyarakat tidak dapat berharap banyak kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk penanganan politik uang, baik secara administrasi maupun pidana pemilu.
“Saya belum menemukan ada satu putusan yang mendiskualifikasi peserta pemilu dalam Pemilu 2019, sebagai akibat politik uang yang kemudian diberi sanksi administrasi,” katanya.
Ida mengatakan, ketiadaan putusan diskualifikasi karena politik uang bukan kesalahan aparat penegak hukum maupun Bawaslu. Sebab, regulasi memberi persyaratan yang rumit untuk menjangkau pelaku dalam isu ini Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).
“Ditambah lagi, undang-undang juga tidak memberi penjelasan yang gamblang terkait TSM tersebut,” kata Ida. (rm)
Diskusi tentang ini post