SATELITNEWS.COM, JAKARTA – Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan kampus jadi tempat kampanye. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu, satu suara keberatan dengan putusan MK itu.
MK mengabulkan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf h tentang larangan kampanye di fasilitas Pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Dalam Putusan bernomor 65/PUU-XXI/2023 dan diketok pada 15 Agustus 2023 lalu, MK membolehkan asalkan dapat izin dari penanggung jawab tempat dan hadir tanpa atribut kampanye Pemilu.
Ketua PBNU, Ahmad Fahrur Rozi keberatan, dengan putusan MK tersebut, khususnya soal diizinkannya kampanye di tempat pendidikan. Ia meminta, agar kampanye di sekolah atau kampus dihindari.
“Kampanye boleh saja dilakukan asalkan merupakan pendidikan politik yang baik, bertanggung jawab dan jauh dari ujaran kebencian. Namun, sebaiknya saya kira dihindari,” kata pria yang akrab disapa Gus Fahrur ini.
Ia menilai, lembaga pendidikan sebaiknya tidak terjerumus dalam politik praktis. Tidak baik bagi sekolah atau kampus berlomba-lomba mengundang salah satu Capres.
Sebab, kata dia, tidak semua siswa atau mahasiswa sama pilihannya. Hal itu ditengarai bisa menyebabkan polarisasi. “Harus diperhitungkan dampak negatif kemungkinan terjadi konflik kepentingan antarpemimpin di bangku sekolah dan perguruan tinggi,” tambahnya.
Ia menilai, perlu aturan lebih lanjut yang mengatur batas penggunaan lembaga pendidikan sebagai lokasi kampanye. Tujuannya agar tidak terjadi benturan kepentingan dengan tujuan pendidikan dan situasi masyarakat yang majemuk.
“Kegiatan kampanye atau kedatangan kandidat jangan mengganggu jadwal pelajaran yang telah disusun secara baik oleh pihak sekolah,” pesan Gus Fahrur.
Senada disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Dia menegaskan, Pemerintah tidak memberi izin bagi kegiatan kampanye Pemilu 2024 di lembaga pendidikan di bawah binaan Muhammadiyah, meski hal tersebut diperbolehkan sesuai ketentuan di atas.
“Walaupun diperbolehkan, lembaga pendidikan Muhammadiyah akan sangat berhati-hati bahkan mungkin tidak memberikan izin kampanye di kampus,” ujarnya.
Dia menyebut, perubahan ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang membolehkan lembaga pendidikan sebagai tempat kampanye itu bisa berdampak buruk terhadap dinamika politik dan kegiatan akademik. “Tarik-menarik kepentingan politik di kampus akan semakin kuat,” sesal Mu’ti.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin ikut mengomentari soal ini. Dia mengingatkan, kampanye di kampus jangan sampai menimbulkan polarisasi yang dapat menjadi perpecahan. Seharusnya, ada aturan spesifik mengenai putusan MK.
Kata Ma’ruf, kampanye di lembaga pendidikan tidak boleh membawa atribut. Selain itu, sekolah atau kampus harus adil dengan menghadirkan semua Capres yang ada.
“Jangan sampai terjadi semacam pembelahan, polarisasi yang menjadi perpecahan. Jadi harus ada aturan-aturan yang detail ya. Sebab itu sangat, sangat mungkin ya mudah untuk terjadinya polarisasi di kampus itu. Ini yang harus di harus dijaga,” tuturnya.
Ma’ruf meminta, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan-aturan teknisnya. “Itu harus betul-betul tidak ada sedikitpun celah kemungkinan terjadinya konflik dan pembelahan di kampus,” pintanya.
Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy secara tegas mengimbau, sekolah dan madrasah tak dijadikan politik praktis. Dia beranggapan, saat ini kondisi belajar mengajar di sekolah belum sepenuhnya pulih pasca pandemi Covid-19. Proses pembelajaran masih mengalami learning loss atau berkurangnya pengetahuan dan keterampilan secara akademis.
Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, Muhadjir menyarankan, sekolah dan madrasah untuk fokus menstabilkan proses belajar-mengajar ketimbang jadi tempat kampanye politik. Dia juga menilai kampanye di sekolah atau madrasah tidak efektif. Pasalnya, jumlah pemilih pemula lebih sedikit ketimbang di perguruan tinggi.
“Yang penting harus betul-betul dijaga. Mereka kan sudah (bisa) memilih, kemudian tingkat kesadarannya juga sudah tinggi,” ulasnya.
Warganet sependapat dengan sikap NU dan Muhammadiyah yang menolak kampanye di tempat pendidikan. “Politik praktis di kampus dilarang. Kampanye di lembaga pendidikan dan tempat ibadah bisa berpotensi munculnya perseteruan masyarakat atau warga sekolah,” kata @wahyuhe6266.
“Menarik. Rasanya akan ada silang pendapat dari Prof Mu’ti dan Prof Ma’mun Murod. Tapi, mungkin kalau dari segi mindset Mu’ti mungkin akan menghormati keputusan Murod yang mengizinkan adanya kampanye di lingkungan UMJ meskipun kampus tersebut di bawah naungan Muhammadiyah,” ulas @radiefmadna.
“Lho di sekolah dan kampus? Aturan tak jelas pula. Membahayakan, ingat nggak, alasan politik Indonesia yang nggak stabil investasi malas masuk. Tesla ke tetangga Malaysia tuh. Jangan berbuat makin parah plis dampaknya ke mana-mana,” kritik @Luqikhoiriyah. (rm)
Diskusi tentang ini post