SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Per hari ini, Rabu (4/10/2023) tepat pukul 17.00 WIB, TikTok secara resmi menutup TikTok Shop. Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Penutupan layanan TikTok Shop ini dilakukan, pasca diketok palu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), pada Rabu (21/9/2023).
Kemendag memberikan tambahan waktu selama satu minggu kepada TikTok Shop untuk mematuhi ketentuan yang terdapat dalam beleid baru tersebut. Sesuai dengan Pasal 67 Permendag Nomor 31 Tahun 2023, TikTok Shop harus menutup bisnis dan layanannya sejak 25 September 2023 atau saat regulasi tersebut diterbitkan.
“Pemerintah mengapresiasi TikTok Shop karena mematuhi regulasi yang ada di Indonesia dan memahami dampak ekonomi yang perlu kami lindungi,” kata Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki, dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (4/10/2023). Ia berharap, agar TikTok Shop dapat secepatnya menyelesaikan pemenuhan kewajiban terhadap seller (pedagang), affiliator dan konsumen.
Seperti diketahui, di laman resmi TikTok.com menyatakan bahwa TikTok Shop Indonesia akan berhenti memfasilitasi transaksi e-commerce per 4 Oktober 2023 mulai pukul 17.00 WIB demi menghormati dan mematuhi regulasi di Indonesia. TikTok akan terus berkoordinasi dengan pemerintah terkait langkah dan rencana perusahaan ke depan.
Meski akan menutup layanannya, dalam surat elektronik (e-mail) kepada pedagang yang beredar di sosial media, TikTok mengaku akan tetap berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh terhadap pemenuhan pesanan, baik yang telah maupun sedang berlangsung, beserta layanan pelanggan.
Teten mengatakan, para seller dan affiliator tetap bisa mempromosikan produknya di TikTok lantaran yang ditutup hanya layanan e-commerce serta bisa menjadi seller dan affiliator produk di platform lokapasar lain. “Dengan begitu, bisnis yang dijalankan oleh seller dan affiliator tak akan terganggu dan tetap bisa berjalan,” katanya. Melalui regulasi baru tersebut, Pemerintah berupaya menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan baik di online maupun offline, yang melindungi UMKM dan produk domestik.
Bukan cuma di Indonesia, mantan Kepala Staf Presiden (KSP) ini menjelaskan, banyak negara di dunia seperti Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), dan India sudah mulai memperketat termasuk mengatur, membatasi, bahkan menutup kehadiran model bisnis baru di dunia e-commerce seperti yang dilakukan TikTok melalui TikTok Shop.
“Belum lama ini, pada 25 Agustus 2023, Uni Eropa mengeluarkan Digital Service Act yang mengatur secara hukum atas konten yang diposting di platform tersebut. Aturan ini juga menerapkan cara untuk mencegah dan menghapus postingan yang berisi barang, layanan, atau konten ilegal. Bahkan, harus memberikan lebih banyak transparansi mengenai cara kerja algoritma mereka,” ujar Teten.
Di AS, sambungnya, ada restrict act yang diusulkan pada Maret 2023 yang memungkinkan AS memblokir TikTok secara nasional bila dianggap berisiko dan menjadi ancaman bagi keamanan nasional. “Di India, mereka sudah melarang TikTok dan 58 aplikasi lain dari China dengan alasan geopolitik,” tuturnya.
Sebanyak 10 negara lain yang secara parsial melarang TikTok adalah Taiwan, Kanada, Denmark, Australia, Inggris, Prancis, Estonia, Selandia Baru, Norwegia, dan Belgia. Bahkan, di China sendiri, ada aturan AntiTrust Guidelines for Platform Economy (2021) dan Anti-Monopoli Regulation of Digital Platforms (2022), yang secara spesifik melarang praktik monopoli melalui penggunaan data, algoritma, dan teknologi.
“TikTok di China namanya Douyin dan Douyin Shop, tapi hanya konten lokal yang bisa masuk ke sana. Pintu mereka ditutup rapat-rapat untuk produk dari luar China. Dan untuk berbisnis di Douyin, harus mempunyai business license China atau bermitra dengan agensi lokal,” sebutnya.
Teten merinci, kebijakan China dalam melindungi platform domestiknya dengan langkah menutup investasi asing untuk memberikan ruang bagi platform dalam negeri. Misalnya, di sektor e-commerce ada Alibaba, JD.Com, Tiktok Shop (Douyin), Search Engine Baidu, Messaging Apps (Tencent dan Wechat), hingga platform video (Youku Tudou dan Douyin).
Tak hanya itu, China juga membuka keran investasi asing ketika platform domestik sudah berkembang, dibatasi dengan Great Firewall (internet censorship), dan harus tunduk pada Cybersecurity Law. “Ada hal yang sudah dilakukan China dijadikan sebagai benchmark Indonesia dalam mengatur transformasi digital,” ujar Teten.
Menurutnya, China memagari pasar online dari produk impor dan anti monopoli. Beberapa di antaranya, pertama, pembatasan penjualan di e-commerce dengan nilai transaksi maksimal 10 juta per pengiriman dan 54 juta per tahun untuk tiap pelanggan.
Kedua, produk impor yang dijual e-commerce crossborder harus melalui bea cukai dan pajak impor dengan nilai 70 persen dari impor normal. Ketiga, larangan menjual harga di bawah biaya (Harga Pokok Penjualan/HPP) dengan denda yang cukup besar 0,1sampai 0,5 persen dari omzet penjualan tahunan dan dapat dihentikan operasi bisnisnya. “Keempat, di China, barang impor di pasar online wajib mematuhi regulasi penjualan produk impor, seperti sertifikasi, ISO Manufaktur, serta Labeling,” jelas Teten. (rm)
Diskusi tentang ini post