SATELITNEWS.COM, TANGSEL—Eksekusi pengosongan lahan yang menjadi lokasi berdirinya puluhan unit rumah di Kampung Gunung RT 002 RW 014, Kelurahan Jombang, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan berlangsung ricuh, Selasa (7/11/2023). Tim juru sita PN Tangerang dan kepolisian saling dorong dengan penghuni rumah. Teriakan dan tangisan anak-anak juga terdengar selama eksekusi berlangsung.
Pantauan di lokasi, kegiatan ini dikawal ketat mulai dari Satpol PP, Polisi, dan TNI. Nampak ratusan personel terlibat bentrok saat tim juru sita merangsek masuk ke rumah-rumah yang berada di atas lahan seluas 6.070 meter persegi tersebut.
Suriyanto, kuasa hukum warga menyebut, eksekusi lahan atas amar putusan nomor 311/Pdt.G/2012/PN.TNG ini dinilai cacat secara prosedur. Pasalnya, kata dia, eksekusi lahan itu tidak sesuai lokasi amar dari putusan.
“Eksekusi hari ini adalah menjalankan perintah putusan yaitu putusan nomor 311/2012/Pn. Tangerang di mana putusan itu amarnya berbunyi untuk mengeksekusi lahan yang ada di RT 001,” ujarnya saat dimintai keterangan.
“Tapi yang dieksekusi hari ini itu adalah di RT 002 jadi bunyi putusannya di RT 001 RW 014 Kelurahan Jombang Kecamatan Ciputat. Tapi yang dieksekusi di RT 002 RW 014, kami keberatan atas eksekusi yang dilakukan karena ini beda lokasi. Lokus amar putusannya ada di RT 001 tapi yang dieksekusi di RT 002. Ini kan adalah pelanggaran hukum yang sangat nyata,” sambungnya.
Menurutnya, eksekusi lahan yang dilakukan merupakan tindakan ilegal. Pasalnya, ada pelanggaran dari isi putusan. “Ilegal kalau menurut saya karena melanggar isi putusan itu sendiri. Di buku pedoman pelaksana tugas administrasi peradilan perdata umum dan perdata khusus itu putusan ini enggak bisa dieksekusi. Kenapa? objek eksekusi itu berbeda lokusnya beda,” ucapnya.
Keberatan dengan putusan tersebut, pihaknya berencana akan melakukan sejumlah langkah hukum. “Kami akan lakukan langkah hukum, kami akan laporkan ke kepolisian, apa yg dilakukan PN Tangerang beserta juru sita lainnya akan kita laporkan ke ombudsman, Komnas HAM dan Mahkamah Agung,” katanya.
“Putusan ini sebenarnya banyak kejanggalan, orang yang menggugat ada tiga nama. Tapi kami enggak bisa menyebutkan apakah tiga nama itu adalah orang yang sama. Kedua yang paling fatal, soal barang yang dieksekusi berbeda lokus,” imbuhnya.
Adi, salah satu warga mengatakan, hari ini merupakan kali kedua eksekusi dilakukan. Kata dia, eksekusi pertama dilakukan pada satu bulan lalu. Menurutnya, pada eksekusi pertama para warga pun tetap menolak untuk mengosongkan lahan.
“Jadi tanggal 7 ada eksekusi pemaksaan pengosongan lahan, jadi mafia tanah ini mengaku tanah kita yang kosong ini, dengan objek tanah dia dialihkan ke tanah kita. Dia punya sertifikat. Ada 20 rumah lebih yang terdampak dari pengosongan lahan ini dan ada rumah saya yang kena. Kita sangat terusik cuma memang kita pernah dapat informasi untuk mengosongkan rumah,” bebernya.
“Pemberitahuan diberikan pihak pengadilan berupa surat pengosongan rumah dan eksekusi lahan. Itu dilayangkan pada bulan ini dan eksekusi pertama sudah dilakukan pada tanggal 20 bulan lalu. Kita sempat menolak pada eksekusi pertama. Jadi gini, kita ini kan melawan individu, yang namanya melawan orang yang individu tidak ada uang kerahiman mereka pesta asal gusur, asal ngeluarin barang jadi tidak ada ganti rugi. Beda kalau dari pemerintah pasti ada ganti rugi,” tambahnya.
Hal serupa dikatakan Nani Kusuma, dirinya yang mengaku memiliki girik atas lahan tempat tinggalnya akan bertahan untuk mempertahankan haknya. “Kami tidak pernah ada yang menjual sedikit pun tanah disini. Kalau sampai terjadi kepada orang tua saya kenapa kenapa, saya akan menuntut balik. Dan saya cuma minta tolong hadirkan yang merasa membeli tanah ini dan tolong hadirkan sama yang menjual. Cuma ini pinta saya, ngga da yang lain,” jelasnya.
“Ada (girik) sekarang bapak pikir sebelum sertifikat surat apa yang keluar. Pertama girik, kenapa harus ada surat sertifikat. Ya nolak lah saya tidak terima, saya mau dijadikan apa di sini. Saya orang biasa, saya orang kecil, saya tidak terima diginiin. Ini tanah engkong saya warisan, belum pernah diperjualbelikan. Masih ada giriknya, sertifikat dulu apa Girik dulu jaman dulu?” ungkapnya.
Adanya pengosongan lahan, membuat keluarganya yang sudah tinggal bertahun-tahun kebingungan harus pindah kemana. Untuk itu, ia mengaku akan mengadu kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel.
“Ya ngga tau, duit ngga punya apa ngga punya mau pindah kemana. Kita rakyat kecil, saya mau ngadu ke walikota bahkan mau naik ke DPR untuk keluarga saya semua,” katanya.
Sementara, Burhanuddin juru sita Pengadilan Negeri Tangerang menganggap penolakan dari pihak tergugat merupakan hal biasa. Kata dia, pihaknya hanya menjalankan sesuai dengan putusan PN Tangerang.
“Dalam rangka pelaksaan eksekusi sesuai putusan pengadilan negeri Tangerang. Putusan pengadilan tinggi, keputusan makamah agung. Itu yang kami jalankan. Semua surat-surat sudah diteliti semua di pengadilan. Ini perkara tahun 2016,” sebutnya.
Terkait dengan adanya salah alamat atau tidak sesuai lokasi amar dari putusan, dirinya hanya menjawab karena adanya pemekaran wilayah. “Sekarang kan ada pemekaran juga, waktu eksekusi pertama benar sih. Ada pemekaran pasti sih, ya gitu. Ini kan ada pemekaran wilayah RT,” pungkasnya.
Sebagai informasi, walaupun sempat melakukan penolakan, akhirnya warga yang menempati lahan itu harus mengalah lantaran kalah jumlah. Tim juru sita perlahan masuk untuk mengeluarkan barang-barang dari tiap rumah yang ada. (eko)
Diskusi tentang ini post