SETIAP tahun, tepatnya setiap tanggal 25 November dirayakan Hari Guru Nasional (HGN). Dalam perayaannya selalu meriah, suguhan demi suguhan acara dalam menyambut serta “memuliakan” para guru menjadi alasan guna memuliakan para guru. Namun kemeriahan menyambut Hari Guru tak berbanding lurus dengan hak dan kewajiban yang mesti diterima oleh para guru.
Di saat para buruh menuntut hak kesejahteraan maka setiap tahun akan memunculkan putusan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dari setiap pemerintah daerah mengalami kenaikan di bawah 5% bahkan setara dengan target inflasi 2024 sebesar 1,5%-3,5% yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Setiap daerah memiliki beragam kenaikan baik UMP maupun UMK, bahkan UMK Kabupaten Karawang menembus Rp 5.797.321,- menjadi yang tertinggi dari seluruh daerah.
Lalu bagaimana dengan Guru? Kesejahtehteraan guru selalu menjadi wacana masih jauh dari harapan. Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru masih belum maksimal, terlebih pada guru honorer. Guru honorer bahkan di semua daerah masih jauh dari harapan. Pendapatan yang diterima oleh para guru honorer hanya 10% dari UMK atau UMP buruh, bahkan bisa di bawahnya.
Sebuah ironi ketika beban di pundak mereka cukup besar, namun perhatian sangatlah minim. Beban yang diemban oleh para guru sangatlah besar, baik beban pelaksanaan kurikulum yang konon merdeka, namun masih menjadi beban bagi para guru karena masih menjadi momok besar ketika sudah berjalan kurikulum baru, berganti pimpinan maka kebijakan pun akan berubah.
Selain kurikulum, beban yang paling besar adalah membangun karakter bangsa dengan pendekatan terhadap siswa yang akan menjadi generasi bangsa ke depan. Ini pun menjadi PR besar pemerintah, yaitu perlindungan hak guru. Di saat beban besar diberikan kepada guru, namun pemerintah tidak hadir memberikan perlindungan.
Kasus demi kasus telah mengampiri para guru, mulai melaporkan guru ke pihak berwajib, dikriminalkan, bahkan sampai ada yang menjadi pesakitan dan mendekam di balik jeruji. Dari beberapa kasus hukum yang terbaru yaitu kasus guru diketepel oleh wali murid di Bengkulu, karena tak terima anaknya dimarahi saat ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Selain oleh wali murid, siswa pun berulah terhadap guru, seperti kasus seorang guru Madrasah Aliyah di Demak, dibacok muridnya gegara perkara nilai. Masih banyak kasus lain yang menandakan kondisi pendidikan kita sangatlah darurat dan perlu penanganan secepatnya serta peran negara dibutuhkan guna membenani pendidikan secara baik, terlebih terhadap perlindungan guru.
Kehadiran pemerintah sangatlah diharapkan bukan hanya menjadikan guru sebagai alat kampanye dan komoditas politik untuk hajatan pemilu maupun pilkada. Pemerintah perlu membenahi pendidikan bukan hanya terfokus pada perombakan kurikulum, namun perlu juga membenahi sisi kesejahteraan serta memberikan perlindungan terhadap guru.
Kita menuntut agar peran pemerintah baik pusat hingga daerah bekerjasama bahu-membahu memikirkan bagaimana pendidikan ke depan agar lebih baik tanpa diskriminasi. Karena masih saja ada peran diskriminasi terhadap guru yang berbeda naungan, misal antara guru di bawah Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.
Perlindungan hukum terhadap guru pun menjadi prioritas guna memberikan rasa nyaman terhadap guru dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter. Untuk itu pemerintah segera membuat peraturan yang menjadi payung hukum berupa Undang-undang Perlindungan Guru. Selamat Hari Guru, Guru Mulia, Guru Sejahtera. (*)
*(Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama Kota Tangerang)
Diskusi tentang ini post