KETUA Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang juga pakar hukum tata negara Jimly Ashiddiqie dalam suatu kesempatan menyampaikan bahwa dalam kehidupan kebangsaan kita saat ini akal sehat telah dikalahkan oleh dua iblis. Dua iblis itu adalah kekayaan dan kekuasaan, akal fulus dan akal bulus. Menurutnya, akal fulus itu untuk kekayaan atau uang. Sementara akal bulus itu untuk jabatan atau kekuasaan (Kompas, 26/10/2023).
Masih menurut Jimly, masyarakat kita tidak lagi mau membagi (sharing), peduli (caring), dan memberi (giving) kepada negara. Alih-alih bekerja untuk negara, kebanyakan mereka hanya mau mengambil (taking) dan meminta (asking), bahkan jika perlu merampok (robbing) negara. Mereka yang telah berkuasa menggunakan kekuasaannya untuk merebut kekuasaan yang lebih tinggi. Demikian pula mereka yang telah mendapat kekayaan menggunakan kekayaannya untuk mencari kekayaan yang lebih banyak lagi.
Apa yang dikatakan Jimly di atas tentu tidaklah berlebihan. Sebab, realitas politik kebangsaan kita hari ini menampilkan kenyataan tersebut. Muara dari dua iblis yang disebut di atas adalah merajalelanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi perhatian bersama saat ini sekaligus menjadi problem mendasar kebangsaan kita.
Dengan menggunakan logika akal bulus dan akal fulus di atas, kita bisa melihat bagaimana fenomena korupsi hari ini sebagai kombinasi dari keduanya. Para koruptor umumnya adalah pejabat, mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan politik. Dengan kekuasaannya, mereka memiliki kemampuan untuk membuat kebijakan tertentu yang menguntungkan diri atau golongannya. Dengan jabatannya, mereka bisa memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dengan akal bulusnya (kekuasaan), mereka berusaha melanggengkan posisinya atau bahkan meraih kekuasaan yang lebih besar atau jabatan yang lebih tinggi dengan menghalalkan segala cara.
Selanjutnya, upaya melanggengkan kekuasaan itu membutuhkan sokongan akal fulus, kekayaan, modal, atau uang. Lewat memanfaatkan kekuasaan, adalah jalan tercepat untuk meraih kekayaan. Kebijakan politik bisa dibuat sedemikian rupa untuk memberikan keuntungan ekonomi pada pihak tertentu. Sebab, modal menjadi tidak bisa dilipatgandakan dengan cepat tanpa difasilitasi oleh kebijakan politik. Sebaliknya, lahirnya para pejabat publik yang punya kuasa untuk mendesain kebijakan politik membutuhkan dukungan kuasa modal. Dua-duanya membentuk saling ketergantungan.
Maka tidak heran, dalam setiap praktik korupsi yang tersaji di hadapan publik selama ini selalu melibatkan dua aktor: pejabat publik dan pengusaha. Pejabat memiliki kekuasaan politik, pengusaha menyokong kekuasaan modal. Inilah persekutuan sempurna antara akal bulus dan akal fulus, kuasa politik dan kuasa kapital.
Mancur Olson, seorang ahli ekonomi dan ilmuan politik Amerika Serikat, dalam karyanya Dictatorship, Democracy, and Development mengajukan pertanyaan retoris. Mengapa setelah berakhirnya otoritarianisme, kemakmuran justru tak kunjung datang? Padahal otoritarianisme dibenci dan berusaha ditumbangkan dengan dalih karena rezim menyengsarakan kehidupan rakyat. Tapi mengapa, setelah otoritarianisme diusir lalu demokrasi diadopsi sebagai sistem pemerintahan baru, kemakmuran yang didambakan tiada kunjung berwujud nyata. Alih-alih kehidupan menjadi lebih baik, yang terjadi justru munculnya praktik otoritarian gaya baru. Kata Olson, jawabannya karena berkuasanya dua bandit, yang oleh Olson disebut sebagai bandit yang menetap (stationary bandit) dan bandit yang mengembara (roving bandit).
Siapakah mereka? Bandit yang menetap adalah para pejabat, penguasa, yang dengan kekuasaannya menghalalkan segala cara untuk memperoleh kepentingan pribadi atau kelompoknya. Bandit yang menetap ini adalah representasi akal bulus. Sementara bandit yang mengembara, adalah para pengusaha yang datang atas nama investasi. Tetapi setelah semua kekayaan negara dikeruk, mereka kemudian pergi, menyisakan sejumlah masalah. Bandit ini adalah representasi akal fulus. Tidak jarang pula, kedua bandit ini adalah aktor yang sama. Penguasa yang pengusaha atau pengusaha yang jadi penguasa, lalu dengan sedemikian rupa menguasai semua hal lewat kekuasaan dan kekayaannya.
Akibatnya, mereka hanya mau mengambil (taking) apapun yang bisa diambil dari negara atau meminta (asking) apapun yang bisa diminta dari negara. Atau, jika perlu merampok (robbing) negara sekalipun dilakukan demi sebuah nafsu kekuasaan dan kekayaan. Maka kita menyaksikan betapa korupsi telah menggurita di semua sektor dan level lembaga negara. Korupsi telah mengorupsi Indonesia. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang diberi mandat untuk berdiri di garda terdepan pemberantasan korupsi juga tidak luput dari praktik tindak pidana korupsi itu sendiri.
Untuk itulah, dibutuhkan akal sehat dalam memilih pemimpin menjelang suksesi kepemimpinan nasional mendatang. Juga akal sehat para pemimpin, siapa pun yang terpilih, untuk meletakkan kepentingan negara dan rakyat di atas segalanya. Di tengah berbagai problematika kebangsaan, penting bagi siapa pun untuk menjalankan kekuasaan dengan bijak dan tidak membiarkan kekayaan menggantikan nilai-nilai moral dan etika. Hanya dengan begitu, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, makmur, sejahtera menuju Indonesia Emas 2045.
Dalam konteks itu, kita membutuhkan pemimpin yang berintegritas tinggi, jujur, adil, dan transparan. Dengan integritas itu, diharapkan dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih dan anti-korupsi. Lebih dari itu, harus memperkuat hukum dan aparat penegak hukum dengan menjalankan hukum tanpa pandang bulu. Karena itu, integritas dan komitmen para kandidat presiden dan wakil presiden pada pemberantasan korupsi dan penegakan hukum harus benar-benar kita diuji. Paling tidak, dokumen visi-misi mereka yang berisi agenda strategis bangsa lima tahun mendatang perlu dikaji agar publik tahu siapa yang memiliki gagasan besar dan realistis untuk memajukan Indonesia. (*)
*(Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)
Diskusi tentang ini post