Satelitnews.id- Dunia akademik tergagap-gagap oleh karena keadaan yang mengharuskan untuk bermigrasi dari sistem offline menuju online. Pemicunya, karena dunia akademi menjadi salah satu yang terdampak akibat Covid-19. Untuk menghalau penyebaran wabah ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kita dipaksa untuk bermigrasi menuju new normal academic. Jika mengabaikannya, dapat menjadi bencana baru terhentinya layanan akademik di dunia pendidikan.
Tercatat sebanyak 1,5 miliar anak usia sekolah terdampak Covid 19 di 188 negara, termasuk 60 jutaan ada di Indonesia. Physical distancing menjadi dasar pelaksanaan belajar di rumah secara online. Namun, tantangannya cukup berat, seperti: adanya ketimpangan teknologi, keterbatasan kompetensi pendidik dalam pemanfaatan aplikasi pembelajaran, keterbatasan dalam pemanfaatan teknologi pendidikan (internet dan kuota), serta relasi guru-murid-orang tua dalam pembelajaran daring yang belum integral (https://pusdatin.kemdikbud.go.id).
Sangat terasa dampak Covid-19 ini bagi peserta didik ditingkat sekolah dasar. Pemberlakuan sistem online difase dasar ini justru menimbulkan polemik, terutama ibu-ibu wali murid. Pengetahuan dan pemanfaatan teknologi bagi siswa sekolah dasar tidak semuanya merata. Ada yang kesehariannya menggunakan handphone, walaupun sekedar game online. Namun, ada juga anak yang belum sama sekali mengenal handphone. Akhirnya, semua proses pembelajaran dilakukan oleh orang tuanya. Sambil menghela napas, “heuuuh mahal banget beli paket internet”.
Di fase menengah, terutama bagi siswa SMP dan SMA justru problemnya berbeda. Orang tua harus sesering mungkin membeli paket internet untuk anaknya belajar online. Problemnya, justru penggunaan paket internet tidak saja untuk belajar online, tanpa terkontrol sambil menyelam minum air “selesai belajar langsung berselancar dimedia sosial sambil menikmati game online”.
Memasuki fase akademik yang lebih tinggi, mahasiswa sepertinya sedang menghadapi dunia baru. Walaupun bagi sekolah modern, hal ini bukan sesuatu yang aneh. Namun, bagi sebagian mahasiswa masih menghadapi hambatan sinyal internet yang lemot (loading lama). Belum lagi harus membeli paket internet dengan biaya yang cukup mahal, dua sampai tiga kali lipat, karena hampir semua dosen kuliah secara online dengan tugas yang menggunung.
Ketiga fase usia belajar tersebut menghadapi berbagai problematikanya, lalu bagaimana dengan kesiapan alat pendukung dan sumber daya guru dan dosennya? Tidak jauh berbeda masalahnya, hambatan masih nampak dimana-mana. Bagi guru atau dosen usia milenial, rasanya aneh jika masih gagap memanfaatkan teknologi saat pandemi ini. Terlebih mereka digenerasi old, terengah-engah belajar ekstra agar mampu menyesuiakan dengan keadaan.
Teknologi menjadi solusi dimasa pendemi Covid-19 ini. Hampir semua layanan akademik dilakukan secara online, walaupun sebagian tetap membandel mengikuti cara lama. Perubahan mendasar dalam dunia akademik adalah suatu keniscayaan yang harus semua diikuti oleh insan akademik. Memasuki “new normal academic” ini sebenarnya bukan kebiasaan yang dilakukan sehari-sehari. Namun, saat ini dan seterusnya harus menjadi kebiasaan dalam dunia akademik.
Bagi lembaga pendidikan yang sudah lama menerapkan bembelajaran online, tentu tidak menjadi hambatan. Namun, bagi yang baru memulainya tentu harus segera melakukan investasi yang biayanya cukup mahal untuk mendukung sistem akademik dan pembelajaran online. Bagi yang belum mampu, dapat memanfaatakan fasilitas yang tersedia gratis. Yang terpenting adalah kesiapan guru dan dosennya untuk dapat memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran online.
Menyikapi kegelisahan siswa, guru, dan pengelola lembaga pendidikan hampir semua merasaka begitu mahalnya paket internet. Oleh karena keadaan ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan RI bekerja sama dengan berbagai provider penyedia layanan internet dapat merancang sistem pembelajaran online yang dapat diinstal gratis melalui play store dengan paket hemat internet. Sehingga perpanjangan pembelajaran online tidak menjadi hambatan dan beban karena mahalnya biaya internet.
New normal academic nampaknya bukan lagi masa depan, melainkan masa kini yang harus kita jalani. Perubahan ini memang sesuatu yang baru, namun kita harus menyesuaikan dengan keadaan. Jika tidak, kita akan tergilas oleh keadaan karena ketidak siapan menghadapi new normal ini. (*)
Penulis: Hamdani (Dosen, Peneliti dan Kaprodi S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Tangerang UMT)
Diskusi tentang ini post