PILPRES tinggal hitungan hari, temperatur politik nasional pun kian mendidih. Anies, Prabowo, Ganjar kini menjadi topik pembahasan utama di setiap sudut yang dapat ditemui. Gerilya kampanye hingga konsolidasi kecil-kecilan mulai digencarkan oleh masing-masing pihak, tentunya dengan tujuan sama: kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dinamika politik penuh drama dan intrik kini sampai pada babak yang paling menentukan plot cerita. Siapakah 01 RI selanjutnya? semua ditentukan pada 14 Februari 2024, lewat lembar demi lembar surat suara KPU yang dinyatakan sah.
Tulisan ini tidak ditujukan untuk mendukung satu paslon tertentu, bukan pula untuk mendiskreditkan paslon lainnya. Tulisan ini semata-mata ingin meneropong gambaran oposisi dalam bingkai demokrasi Indonesia kedepannya.
Anies-Ganjar Kian Mesra
Kehadiran tiga paslon membuat isu pilpres dua putaran menjadi populer di masyarakat. Hal ini pula yang kemudian menyebabkan kedekatan koalisi Anies-Ganjar menjadi isu publik. Sebab, Saat artikel ini ditulis, pasangan Prabowo-Gibran masih memimpin tangga elektabilitas di berbagai survei. Beberapa hasil survei menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran dominan dalam Pemilu kali ini.
Survei yang diadakan oleh Lembaga Survei Nasional (LSN) menghasilkan Prabowo-Gibran memimpin dengan 49,5%, diikuti Anies-Cak Imin 24,3%, dan Ganjar-Mahfud 20,5%. Survei dari Ipsos Public Affairs juga menujukkan hasil dengan urutan yang sama, Prabowo-Gibran 48,05%, Anies-Cak Imin 21,80%, dan Ganjar-Mahfud 18,35%. Selain itu, Prabowo-Gibran juga unggul dalam survei rilisan Indonesia Political Opinion (IPO) dengan 42,3%, diikuti Anies-cak imin 34,5%, dan ganjar-mahfud 21,5%.
Belakangan, salah satu isu paling hangat terkait Pilpres 2024 adalah wacana konsolidasi antara pihak 01 dan 03. Hal ini sebenarnya bukanlah wacana baru. Jauh sebelum capres-cawapres, Anies dan Ganjar memang acap kali dijodoh-jodohkan. Apalagi keduanya pernah menjabat sebagai gubernur dan memiliki rekam jejak yang relatif baik.
Menduetkan Anies dan Ganjar adalah simbol konsolidasi nasional bagi kedua kubu yang tak pernah akrab ini. Ganjar dilihat sebagai bakal capres yang akan melanjutkan program Jokowi, sedang Anies bakal capres dengan standing position yang jelas: menjalankan politik perubahan.
Sayangnya, hal tersebut tak bertahan lama. Seolah melampiaskan akumulasi kekesalannya, Jokowi ‘berkhianat’ sekaligus mematahkan semua asumsi konsolidasi tersebut. Telah menjadi rahasia umum bahwa Presiden Jokowi ‘berat sebelah’ ke paslon 02. Hal tersebut didukung manuver politiknya belakangan ini, ditambah hubungan darah dengan Gibran yang membuat publik semakin yakin.
Seperti yang diketahui, Pilpres 2024 nanti kemungkinan besar menyajikan dua putaran. Jika hal ini terjadi, maka menarik untuk ditelisik kemungkinan-kemungkinan pasca putaran pertama. Hal tersebut juga yang membuat wacana konsolidasi Anies-Ganjar muncul belakangan. Apalagi, masing-masing koalisi kerap menunjukkan sinyal akur. Pun, kedua koalisi memberikan komentar positif terkait wacana konsolidasi ini.
Beberapa pihak menilai persatuan kedua koalisi ini sangat mungkin terjadi di putaran kedua dan head to head dengan Prabowo-Gibran. Sebagaimana diketahui, dengan elektabilitas yang ada, Prabowo-Gibran difavoritkan untuk maju dalam putaran kedua (jika ada).
Beberapa pihak justeru sebaliknya, pesimis bahwa kedua kubu ini dapat berkoalisi. Dari sisi ideologis, keduanya sudah jelas berbeda. Raasanya sulit membayangkan PKS dan PDIP bergabung dalam satu kubu yang sama.
Namun bagaimana jika kedua koalisi benar-benar bergabung? Mampukah koalisi ini membendung laju Prabowo-Gibran? Jika pun kalah dan memilih jalur oposisi, seperti apa wajah oposisi pemerintahan?
PKS-PDIP: Duet Oposisi Terbaik
Potensi konsolidasi 01 dan 03 memang mungkin saja terjadi. Namun, tentu tidak ada garansi kemenangan koalisi tersebut. Mau bagaimanapun, partai pengusung Prabowo-Gibran didominasi partai-partai besar dengan jumlah kader dan simpatisan yang membludak.
Mari berandai-andai, jika ternyata koalisi Anies-Ganjar tercipta dan tetap kalah dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), hal apa yang akan terjadi? Ini bukan tentang perpecahan akar rumput atau drama elit politik, bukan pula tentang potensi-potensi gugatan maupun rangkaian Pilpres lainnya. Ini tentang wajah oposisi dalam perjalanan demokrasi Indonesia kelak.
Anggap saja Pilpres telah usai, Prabowo dinyatakan sebagai pemenang dan KIM melanggengkan kekuasaan mengelola negara. Jika tidak ada yang berubah, maka salah dua yang akan memainkan peran oposisi adalah PDIP dan PKS, dua partai besar yang ikonik.
Diakui atau tidak, PDIP adalah oposisi terbaik. Partai yang identik dengan logo kepala banteng itu selalu agresif ketika menjadi oposisi. Waktu Presiden SBY memimpin, PDIP yang paling lantang mengkritik, salah satunya kala Presiden SBY membuat program kenaikan BBM.
Kritik PDIP bukanlah hujatan semata, sebab penguasa pada saat itu merespon dengan program subsidi bantuan tunai untuk rakyat. PDIP memang lantang, Ketika pendapatnya tidak didengar di DPR, maka mereka akan serentak melakukan walk out.
Tak berhenti sampai di situ, PDIP bahkan aktif mengkritisi kepemimpinan Jokowi, presiden yang diusungnya sendiri. Misalnya, kala Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengkritisi program food estate, Ganjar Pranowo yang memberikan rapor merah terhadap penegakan hukum di era Jokowi, atau Adian Napitupulu yang terang-terangan membeberkan bahwa PDIP menolak permintaan Jokowi memperpanjang masa jabatan presiden.
PDIP bukanlah oposisi asal-asalan, berbeda dengan (misalnya) Partai Demokrat. Saat menjadi oposisi, Demokrat cenderung pasif. Masuknya Prabowo-Sandi ke jajaran kabinet, isu presiden tiga periode, hingga kebijakan-kebijakan lainnya kurang direspon oleh Demokrat. Kritisi terkait isu presiden tiga periode bahkan lebih kencang disuarakan oleh PDIP sendiri, bukan dari oposisi.
Salah satu yang konsisten di jalur oposisi adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sejak akhir masa kepemimpinan SBY, PKS sudah tergolong oposisi. Walau tak begitu keras, PKS tergolong aktif mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa itu. Bahkan ketika ditinggalkan partner oposisinya (Gerindra) di periode kedua Jokowi, PKS tetap teguh di jalur oposisi. Kedua partai politik ini, disukai atau tidak, memang paling berisik dibandingkan partai lainnya, dan itu bagus untuk demokrasi.
Kita ketahui bersama, demokrasi membutuhkan oposisi. Mengutip JR Tillersen, demokrasi yang baik adalah demokrasi yang diisi oleh dua kekuatan sama kuat, yakni koalisi pemerintah dan koalisi oposisi. Peran oposisi dalam demokrasi sangat krusial dalam konteks check and balances, maka dari itu dibutuhkan oposisi yang kuat, lantang, dan konsisten untuk mengimbangi penguasa.
Sebaliknya, jika koalisi penguasa justeru ‘gemuk’ oleh partai-partai yang kuat, maka rawan terjadi akomodir kepentingan yang tak kunjung usai. Bahkan, bisa memicu perpecahan baru di tubuh pemerintahan.
Dengan asumsi kemenangan diraih oleh Prabowo, maka koalisi pemerintahan akan gemuk dengan partai-partai besar seperti Gerindra, Golkar, PAN, dan lain-lain. Maka dari itu, dibutuhkan koalisi oposisi yang sama kuatnya, dan kehadiran PDIP-PKS mampu menjawab hal itu.
Jika penguasa dibiarkan melanggeng bebas dengan kekuasaan yang dimilikinya tanpa dikontrol oposisi yang bising, maka rawan teradinya abuse of power, rakyat hanya dijadikan tikar tempat penguasa duduk bersila. Sedangkan jika koalisi pemerintahan dan koalisi oposisi sama kuat, maka pemenangnya adalah rakyat. (*)
*(Analis Media di Indonesia Indicator, Tinggal di Kota Tangerang Selatan)
Diskusi tentang ini post