PADA suatu hari, di negeri yang jauh, terdapat sebuah kerajaan yang dikenal sebagai Negeri Tuna Etika. Di sini, para pemimpin kerajaan telah kehilangan nilai-nilai moral dan etika. Para pemimpinnya dikuasai oleh keserakahan dan ketamakan. Rakyat hidup dalam keadaan gelap, di mana keadilan dan kebenaran tidak lagi menjadi pijakan utama. Rakyat hidup dalam kemiskinan, sementara pemerintah hanya mementingkan keuntungan pribadi.
Pemerintah di Negeri Tuna Etika dipimpin oleh Raja Serakah dan para penasihatnya yang tidak memiliki etika. Mereka membuat kebijakan yang hanya menguntungkan kalangan elit, sementara rakyat kecil terus merasakan penderitaan. Suara-suara kritis rakyat yang berani mengecam kebijakan itu segera dibungkam.
Sang Raja terobsesi dengan kekuasaan dan kekayaan, tanpa memedulikan nasib rakyatnya. Para pejabat kerajaan juga ikut tercemar oleh keadaan ini. Mereka menjadi korup dan tamak, memanfaatkan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi. Tidak ada lagi keadilan di pengadilan, dan hukum hanya berlaku untuk mereka yang tidak mampu memberikan suap.
Di tengah penderitaan rakyat, sang Raja telah mempersiapkan putra mahkota untuk menggantikan dirinya. Segala cara dilakukan untuk memastikan sang putra berkuasa tanpa halangan. Suara-suara kritis menolak sang putra bermunculan, karena dia dipandang belum cukup umur dan minim pengalaman untuk memimpin kerajaan. Tapi kekuasaan tetaplah kekuasaan, segala daya akan dilakukan demi melanggengkannya.
Di tengah-tengah kegelapan ini, hiduplah seorang anak muda bernama Ananda. Ananda memiliki hati yang luhur dan bermimpi membawa perubahan ke Negeri Tuna Etika. Dia percaya bahwa ada kebaikan yang tersisa di hati orang-orang, meskipun para pemimpin telah kehilangan arah moral mereka.
Suatu hari, Ananda bertemu dengan seorang penyihir tua di hutan terlarang. Penyihir itu memberikan padanya sebuah misi untuk menyelamatkan negerinya. Ananda diberikan tongkat ajaib yang dapat mengungkap kebenaran dan mengembalikan etika yang hilang. Dengan berani, Ananda memulai perjalanan melintasi negerinya, menyingkap kebobrokan dan ketidakadilan di setiap sudut. Ia berbicara dengan rakyat kecil, mendengar cerita mereka, dan memotret keadaan sebenarnya di Negeri Tuna Etika. Melalui perjalanan panjangnya, Ananda berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang membeberkan kejahatan para pemimpin.
Dengan tongkat ajaibnya, Ananda mengadakan pertunjukan magis di depan istana raja. Dia memperlihatkan kebobrokan pemimpin dan kekejaman yang dilakukan terhadap rakyat. Tongkat ajaib itu membuka mata rakyat dan membuat mereka menyadari kebenaran. Rakyat bersatu dan menuntut perubahan. Mereka menolak hidup dalam Negeri Tuna Etika dan bersama-sama menggulingkan raja dan para pejabat korup.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa di tengah kegelapan moral, masih ada harapan. Siapa pun yang memiliki tekad dan keberanian dapat membawa perubahan besar. Jangan biarkan Negeri Tuna Etika menguasai hati kita, melainkan bersatu untuk membawa cahaya kebenaran dan moralitas kembali.
Realitas Negeri
Cerita di atas hanyalah sebuah dongeng. Namun mungkin relevan untuk menggambarkan realitas politik kebangsaan kita hari-hari ini. Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden pendamping Prabowo Subianto menyita perhatian publik beberapa bulan terakhir.
Narasi tentang moral dan etika mengemuka menjadi perdebatan semua pihak. Sebabnya, pencalonan putra Presiden Joko Widodo tersebut tidak terlepas dari pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK), terutama Ketua MK saat itu Anwar Usman yang juga merupakan adik ipar presiden atau paman Gibran.
Terbaru, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), terutama Ketua KPU Hasyim Asyari mendapat “peringatan keras terakhir” dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) (5/2). Ketua KPU dinilai melanggar etik karena meloloskan pendaftaran pencalonan Gibran di tengah belum adanya putusan KPU tentang batas minimal usia calon presiden-calon wakil presiden pasca putusan MK. Pada dua kasus ini, MK dan KPU telah dengan nyata melakukan pelanggaran etik sebagai penyelenggara negara. Sekalipun pada saat yang sama, pencalonan Gibran jalan terus dan tidak dapat dianulir.
Lebih dari itu, sorotan dan kecaman publik juga semakin keras tertuju pada Presiden Jokowi. Sinyal keberpihakan Jokowi pada salah satu pasangan capres-cawapres sangat jelas terlihat. Meski tidak dinyatakan secara langsung, tetapi siapa pun bisa menilai dan melihat ke mana arah politik presiden.
Padahal sebagai presiden, harusnya ia menunjukkan sikap arif nan bijaksana dengan menunjukkan netralitas. Apalagi dirinya pula yang menegaskan kepada seluruh penyelenggara negara agar netral dalam Pemilu. Situasi ini kian diperparah ketika secara gamblang Jokowi mengatakan bahwa presiden boleh memihak dan boleh terlibat kampanye politik, dengan catatan bahwa selama kampanye itu tidak menggunakan fasilitas negara (24/1).
Alih-alih mengklarifikasi pernyataannya yang menuai polemik, Jokowi menjustifikasinya dengan membawa kertas besar bertuliskan pasal 299 dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Jokowi menunjukkan bahwa pasal itu mengatur presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.
Atas dasar itu, sejumlah pihak menyoroti kemunduran demokrasi Indonesia dan menyayangkan tindakan Jokowi yang dipandang tidak meninggalkan legasi yang baik di ujung pemerintahannya. Publik bereaksi, desakan dan tuntutan moral dan etik terus digaungkan. Terbaru adalah manifesto dan pernyataan sikap sivitas akademika sejumlah kampus negeri dan swasta berupa seruan untuk menyelamatkan demokrasi yang telah dibajak oleh kepentingan penguasa, keluarga, dan golongan.
Masih adakah harapan? Siapa pun yang terpilih kelak harusnya menjadi harapan baru untuk membangun dan menata kembali piranti demokrasi yang rusak akibat kontestasi Pemilu 2024. Seperti dongeng Negeri Tuna Etika di atas, siapa pun yang memiliki tekad dan keberanian dapat membawa perubahan besar bagi bangsa dan negara. Pada akhirnya, kebenaran dan kebaikan akan menemui jalannya sendiri. Semoga. (*)
*(Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)
Diskusi tentang ini post