SATELITNEWS.ID, SERANG—Pemerintah Provinsi Banten memutuskan untuk mengikuti saran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di dalam menyelesaikan permasalahan yang membelit Bank Banten. Pemprov Banten akan memberikan penyertaan modal senilai Rp1,9 triliun kepada bank daerah tersebut.
Untuk melaksanakan keputusan tersebut, Gubernur Banten Wahidin Halim mengirimkan surat bernomor 580/1135-ADPEMDA/2020 tertanggal 16 Juni 2020 yang ditujukan kepada Ketua DPRD Banten Andra Soni. Dalam surat tersebut dilaporkan perkembangan letter of intent (LOI) yang ditandatangani oleh Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat. Selain itu juga menerangkan bahwa OJK memerintahkan kepada Pemprov Banten agar menyehatkan Bank Banten dengan mengonversikan kas daerah (kasda) senilai Rp1,9 triliun sebagai penyertaan modal.
Dalam poin surat tersebut juga menyebutkan bahwa pemenuhan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2013. Pemprov Banten melalui PT BGD memberikan penyertaan modal senilai Rp950 miliar. Dari nilai tersebut telah dipenuhi sebesar Rp614,6 miliar atau tersisa Rp335,4 miliar. Sisa kewajiban itu akan dianggarkan dalam Perubahan APBD 2020.
Kemudian Kasda yang masih tersimpan di Bank Banten semula Rp1,9 triliun setelah dikurangi Rp335,4 miliar tersisa Rp1,564 triliun akan dikonversi menjadi penyertaan modal Bank Banten. Untuk sisa kasda Rp1,564 triliun, akan dikonversikan sebagai tambahan penyertaan modal setelah perda penyertaan modal yang baru ditetapkan.
Ketua DPRD Provinsi Banten Andra Soni membenarkan dirinya telah menerima surat dari gubernur perihal tindak konversi dana kasda menjadi penyertaan modal Bank Banten.
“Iya. Nanti saya bawa ke rapim hari Jumat,” ujar Andra Soni seperti dikutip dari Okezone.com, Kamis (18/6).
Sementara itu, Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP) meminta penyelamatan uang rakyat triliun rupiah harus diutamakan dalam polemik Bank Banten. Direktur Eksekutif (ALIPP) Uday Suhada dalam rilisnya, Kamis (18/6) menyampaikan, Gubernur Banten harus meminta pertanggungjawaban manajemen BGD dan jajaran petinggi Bank Banten karena terkesan membiarkan bank mati suri.
“Gubernur harus minta pertanggungjawaban dulu pihak BGD dan Bank Banten atas penggunaan dana selama ini. Mengapa mereka rugi terus? Lakukan audit investigasi oleh Auditor Independen. Jika ada kerugian keuangan negara, siapapun pelakunya harus bertanggung jawab secara hukum,” katanya.
Selanjutnya, sebagai kepala daerah WH harus menanggalkan ego kekuasaannya dengan merombak total jajaran komisaris dan direksi di BGD dan Bank Banten.
“Cari orang-orang yang ahli dalam penyehatan bank, bukan sekedar berpengalaman bekerja di bank, apalagi hanya karena kedekatan personal atau balas budi politik,” ujarnya.
Adapun dengan kebijakan konversi atau pindah buku lanjut Uday, tidak menjamin bahwa Bank Banten akan hidup sehat. Tetap saja ada potensi kerugian. Sebab dengan konversi saham kerugiannya menjadi terkamuflase melalui istilah penurunan nilai ekuitas atau kepemilikan.
“Lagi pula tidak ada fresh money yang dikucurkan. Karena itu saya sering cerewet, hitung dulu dengan benar kebutuhan riil Bank Banten agar hidup sehat itu berapa? Bukan sekedar menunda kematian. Karena uang rakyat yang dijadikan pertaruhan. Pengambilan keputusan investasi itu kan kriterianya harus menguntungkan. Lain hal jika ada investor baru bawa duit masuk. Konversi kan hanya rekayasa akuntansi, jadi tidak ada uang masuk. Ibarat orang sakit, butuh asupan gizi. Disini cuma dihibur, apa bisa sehat? Walaupun menjadi tenang pikiran, karena ada upaya pemprov untuk menyelamatkan Bank Banten,” paparnya.
Sedangkan arahan, rekomendasi kehadiran bisa dijadikan acuan. Karena kriteria harus berbasis pada regulasi. “Kalau ada kerugian OJK bakal bertanggung jawab?, tentu tidak, rakyat Banten lah yang menanggung kerugian. Berkali-kali OJK berhasil mengakali Pemprov Banten untuk tercapainya misi OJK dalam pengawasan bank. Kalau ada bank gagal, itu kan kan indikasi gagalnya OJK. Ibarat mau menyehatkan orang sakit, lihat dulu penyakitnya, Jangan-jangan kanker stadium 4. Sementara dalam kebijakan investasi, secara prinsip harus memberi keuntungan,”katanya.
Oleh karenanya, skenario penyehatan Bank Bantrn secara finansial dan opersional harus bisa dijelaskan secara transparan ke publik. Harus tergambar di dalam rencana bisnis yang logis.
“Pemprov harus melakukan analisa dan evaluasi sebelum memutus perkara, bukan sekadar atas dasar arahan OJK,” imbuhnya.
Sebelumnya, Anggota DPRD Banten, Yeremia Mendrofa mengaku saran OJK meminta penyertaan modal Rp1,9 triliun dari uang milik pemprov di Bank Banten tidak mudah membalikan telapak tangan. Ada regulasi mengikat terkait penyertaan modal yang sudah dibuat pada gubernur dan DPRD Banten periode sebelumnya.
“Kalau jadi penyertaan modal untuk Bank Banten yang Rp1,9 triliun, saya rasa dengan sisa waktu hanya 1,5 bulan tidak tercapai. Karena ini menyangkut dengan peraturan daerah (Perda) tentang Penyertaan Modal dan pembahasan anggaran. Jadi perlu dilakukan proses revisi atau perubahan Perda Penyertaan Modal. Dan ini diperlukan waktu lebih dari dua bulan. Ini yang harus juga diperhitungkan,” ujarnya.
Untuk melakukan pembahasan revisi perda lanjut Yeremia, diperlukan proses dan tahapan. Pertama harus masuk dalam program legislasi daerah (Prolegda) tahun 2020, kemudian ada usul dari gubernur dan kemudian dibentuk panitia khusus (Pansus) di DPRD Banten.
“Jadi tidak serta merta. Perlu proses dan sisa waktu yang ada juga tidak tercapai, untuk revisi perda-nya tidak masuk dalam prolegda 2020. Harusnya gubernur (WH) kalau mau menyehatkan Bank Banten, dari tahun 2018 lalu. Pada tahun 2018 sudah dianggarkan penyertaan modal Rp175 miliar, dan tahuh 2019 Rp130-an miliar, tapi tidak juga diberikan ke Bank Banten,” jelas dia. (rus/bnn/gatot)
Diskusi tentang ini post