BULAN Ramadan selalu menghadirkan momen spesial bagi umat Muslim di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Salah satu yang menarik adalah tradisi berburu takjil menjelang waktu berbuka puasa. Bahkan memunculkan fenomena baru yang menjadi trending topic di media sosial dan menjadi bahasan netizen, yang disebut dengan War Takjil.
War berarti perang, dalam bahasa Inggris. Dalam konteks ini dimaknai sebagai berburu atau memperebutkan. Apa yang diburu atau diperebutkan? Yaitu Takjil. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Takjil berarti mempercepat (buka puasa). Hal ini sesuai dengan akar katanya dalam Bahasa Arab, yakni ‘ajila’ yang berarti menyegerakan. Jadi maksud Takjil sejatinya adalah menyegerakan membatalkan puasa dengan makanan pembuka. Makna ini mengalami reduksi dalam masyarakat Indonesia, yang diasosiasikan sebagai kudapan atau santapan berbuka puasa, bisanya berupa kue atau sejenisnya sebagai makanan pembuka berbuka puasa.
Menariknya, War Takjil yang sedang ramai dibahas netizen adalah antusiasme masyarakat non-Muslim dalam membeli takjil. Meskipun mereka tidak berpuasa, namun kelompok masyarakat inilah yang paling awal menyerbu dagangan takjil. Akibatnya, sebagai lelucon, umat Muslim yang berpuasa seringkali nyaris tidak mendapatkan bagian ketika hendak membeli takjil yang diinginkan sebab telah lebih dahulu diborong oleh kelompok non-Muslim. Di sinilah muncul istilah War Takjil, persaingan atau perebutan takjil antara umat Muslim yang berpuasa dan kelompok non-Muslim yang meramaikan tradisi Ramadan dengan ikut berburu takjil.
Jika memperhatikan perbincangan netizen di berbagai platform media sosial, fenomena War Takjil ini menjadi narasi yang unik dan menarik. Dengan bumbu lelucon, netizen Muslim dan non-Muslim saling berbalas komentar terkait pengalaman persaingan memperoleh takjil. Beberapa unggahan misal menyebut, kelompok non-Muslim telah standby pukul tiga sore untuk berburu takjil di saat umat Muslim yang berpuasa sedang berjuang untuk bertahan. Ada pula unggahan, misalnya, yang meminta kelompok non-Muslim harusnya bersikap fair dengan memulai (start) War Takjil di waktu yang sama, yakni menjelang pukul lima sore. Lihat saja, aneka ragam unggahan berbalas komentar tentang War Takjil ini unik dan menghibur.
Implikasi Positif
War Takjil ini menjadi bukti keharmonisan hubungan lintas agama di Indonesia. Bulan Ramadan sebagai bulan suci umat Islam juga disambut antusias dengan suka cita oleh kelompok non-Muslim. Hal ini menjadi potret hubungan antara pemeluk agama di Indonesia yang guyub, rukun, damai, harmonis, dan saling menghargai.
Hubungan semacam ini perlu dijaga, agar relasi antar umat beragama yang harmonis menjadi khazanah kultural-religius Indonesia. Sekaligus menjadi manifestasi bulan Ramadan sebagai bulan yang menjadi rahmat bagi semesta alam, menjadi bulan yang merekatkan persaudaraan di tengah berbagai perbedaan keyakinan. Bahkan bukti keharmonisan ini harusnya dijaga, bukan hanya pada bulan Ramadan.
War Takjil nyatanya telah menjadi instrumen yang memperkuat toleransi antar umat beragama. Momen di mana masyarakat dari berbagai agama saling menghormati di tengah perbedaan yang ada. Muranya adalah dapat meningkatkan solidaritas dan kebersamaan, saling berbagi dan saling membantu.
Lebih dari itu, dari fenomena ini, sejatinya juga menjadi momentum pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk mempromosikan narasi-narasi toleransi dan kerukunan umat beragama. Hal ini dapat dilakukan melalui dialog antar umat beragama, penguatan moderasi beragama, atau yang paling mudah adalah pemerintah memaksimalkan pemanfaatan beragam platform media sosial untuk mengedukasi publik lewat konten-konten yang mencerahkan, menyejukkan, dan mengedepankan toleransi. Jangan sampai, War Takjil hanya menjadi tradisi tahunan namun tidak memberi bekas yang mendalam pada prospek hubungan antar umat beragama di Indonesia.
Selain itu, fenomena War Takjil ini memberikan kontribusi positif bagi tumbuhnya geliat ekonomi masyarakat. Data menunjukkan bahwa penjualan takjil mengalami peningkatan signifikan selama Ramadan. Pada tahun 2023, Kementerian Perdagangan memperkirakan nilai transaksi takjil mencapai 28 triliun rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa War Takjil tidak hanya menjadi fenomena sosial, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi karena membuka peluang usaha bagi masyarakat, terutama para pelaku UMKM. Sekaligus pada saat yang sama dapat memperkaya kuliner nusantara, karena menghadirkan beragam jajanan tradisional dan kekinian.
Tantangan
Namun demikian, di sisi lain, fenomena War Takjil juga membawa tantangan tersendiri. Misalnya, pada beberapa titik di sudut kota mengakibatkan terjadinya kemacetan lalu lintas. Sehingga diperlukan peran para pemangku kepentingan setempat untuk terlibat dalam menata titik-titik War Takjil, sekaligus membutuhkan kesadaran bersama masyarakat untuk tetap mengedepankan kepentingan dan kenyamanan publik.
Selain itu, tantangan lain yang membutuhkan kesadaran bersama adalah meningkatnya sampah plastik. Faktanya, sebagian besar kemasan takjil adalah plastik sekali pakai. Akibatnya, War Takjil ini berkorelasi terhadap meningkatnya volume sampah plastik sekali pakai yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Karena itu, selain perlu kesadaran bersama untuk menjaga kelestarian lingkungan, diperlukan pula kesadaran bersama untuk memikirkan alternatif kemasan non-plastik dan ramah lingkungan dalam transaksi War Takjil.
Aspek kesehatan juga perlu menjadi perhatian bersama. Edukasi tentang pentingnya makanan sehat dan higienis diperlukan, terutama kepada para pedagang. Agar dalam menyiapkan dagangannya memperhatikan dan mengedepankan kebersihan dan kesehatan makanan dalam rangka mencegah terjadinya dampak kesehatan dari konsumsi takjil, seperti keracunan makanan atau lainnya. Di sini pemerintah punya peran untuk melakukan pengawasan secara berkala dalam rangka memastikan dagangan yang diperjualbelikan dapat dijamin kebersihan, kesehatan, dan tentu juga kehalalannya.
Dengan demikian, dengan fenomena War Takjil ini perlu untuk memaksimalkan dampak positif bagi toleransi dan pertumbuhan ekonomi, serta meminimalkan dampak negatif yang menyertainya. Hal ini membutuhkan sinergitas bersama antara elemen, mulai pemerintah, para pemangku kepentingan, masyarakat lintas agama, dan seluruh masyarakat Indonesia. Mari kita War Takjil. (*)
*(Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)
Diskusi tentang ini post