SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyerahkan amicus curiae terkait sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (16/4).
Dokumen amicus curiae Megawati diserahkan melalui Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto yang didampingi Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat dan Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis.
Amicus curiae adalah sahabat pengadilan atau friends of court. Pihak yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara sehingga memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Akan tetapi, keterlibatannya hanya sebatas memberikan opini dan bukan melakukan perlawanan ataupun memaksa hakim.
Dalam dokumen yang disebarkan oleh PDI-P, Megawati menambahkan tulisan tangan. “Rakyat Indonesia yang tercinta, marilah kita berdoa, semoga ketuk palu Mahkamah Konstitusi bukan merupakan palu godam melainkan palu emas,” kata Hasto membacakan tulisan Megawati. “Seperti kata Ibu Kartini pada tahun 1911, ‘habis gelap terbitlah terang’, sehingga fajar demokrasi yang telah kita perjuangkan dari dulu timbul kembali dan akan diingat terus menerus oleh generasi bangsa Indonesia,” lanjut Hasto.
Menurut Hasto, tulisan tersebut adalah perasan dari perasaan yang sudah dikontemplasikan oleh Megawati. “Ketika kita menghadapi kegelapan demokrasi akibat abuse of power yang dilakukan oleh Presiden Jokowi akibat kepentingan nepotisme untuk anak dan keluarganya, maka menciptakan suatu kecurangan masif dan penggunaan sumber daya negara serta alat-alat negara,” kata Hasto. “Karena itulah (amicus curiae) ini disampaikan dengan kesungguhan oleh beliau (Megawati) sebagai warga negara Indonesia,” kata dia.
Di tempat yang sama, kuasa hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis menegaskan tetap pada petitum awal sidang sengketa Pilpres 2024 di MK. “Kami ingin diskualifikasi paslon 02 (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka), kami (juga) ingin pemungutan suara ulang di seluruh Indonesia, dan MK mempunyai dasar yang kuat untuk melakukan (mengabulkan petitum) itu,” ujar Todung, saat menyerahkan dokumen kesimpulan sidang sengketa Pilpres 2024.
Kubu Ganjar-Mahfud mendalilkan telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam penyelenggaraan Pilpres 2024. Salah satunya, Presiden Jokowi diklaim terbukti melakukan nepotisme dalam Pilpres 2024.
“Terbukti bahwa Presiden Joko Widodo melakukan nepotisme untuk memenangkan pihak terkait (Prabowo-Gibran) dalam 1 putaran,” demikian isi dokumen kesimpulan yang diserahkan ke MK.
Ada tiga skema nepotisme yang didalilkan. Pertama, nepotisme untuk memastikan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka memiliki dasar hukum maju dalam pilpres. Kedua, nepotisme untuk menyiapkan jaringan untuk mengatur jalannya pilpres. Ketiga, nepotisme yang dilakukan untuk memastikan agar Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024 dalam 1 putaran.
Pihak termohon atau KPU dengan pihak terkait dalam hal ini Prabowo-Gibran diklaim memiliki dalil kontradiktif terkait aksi nepotisme, khususnya dalam hal aturan pencalonan Gibran Rakabuming Raka. KPU dan Kubu Prabowo-Gibran menilai tak perlu ada perubahan peraturan KPU (PKPU) terkait batas usia saat Gibran dicalonkan. Sebab, menurut mereka, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat calon presiden mengubah PKPU secara otomatis.
“Namun di sisi lain malah menunjukkan upaya yang mengarah pada perubahan secara formal dari PKPU Nomor 19/2023. Kontradiksi ini pada dasarnya membuat seluruh bangunan argumen termohon dan pihak terkait menjadi rontok,” demikian isi dokumen kesimpulan Ganjar-Mahfud.
Nepotisme juga terlihat dari penunjukan penjabat kepala daerah yang disebut sebagai bagian dari tim pemenangan Prabowo-Gibran. Nepotisme yang dilakukan Kepala Negara dalam Pemilu 2024 terlihat dari pembagian bantuan sosial. “Tindakan Presiden Joko Widodo yang menggencarkan pembagian bantuan sosial dalam periode Pilpres 2024 saat putra sulungnya sedang menjadi kontestan dalam Pilpres 2024 adalah murni bentuk politisasi bantuan sosial,” demikian salah satu poin kesimpulan Ganjar-Mahfud.
Todung mengatakan, saat ini semua tergantung pada Majelis Hakim MK. Dia sendiri meyakini bahwa MK akan memberikan keputusan yang bijak dan mengabulkan petitum yang mereka mohonkan.
“Terus terang kami merasakan suasana kebatinan dalam tubuh mk, terutama pasca-putusan MK 90,” kata Todung. “Kenapa saya katakan demikian, karena putusan MK 90 telah membuat MK terperangkap dalam satu situasi satu kondisi titik nadir yang membuat MK ini tidak punya pilihan selain untuk bangkit kembali, tidak punya pilihan lain,” ujarnya lagi.
Todung juga percaya bahwa MK akan memikirkan keberlangsungan demokrasi pasca-pemilihan umum (Pemilu) 2024. Sebagai negarawan, para Hakim MK dipercaya memberikan putusan yang baik untuk masa depan Indonesia khususnya dalam gelaran demokrasi. “Siapa pun yang menjadi hakim MK adalah negarawan yang tidak berpihak pada satu golongan,” katanya lagi.
Majelis hakim konstitusi sudah memulai rapat permusyawaratan hakim (RPH) secara maraton sejak sidang pamungkas digelar pada Jumat (5/4/2024). MK dijadwalkan membacakan putusan atas sengketa Pilpres 2024 paling lambat pada Senin (22/4). (bbs/san)
Diskusi tentang ini post