SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta agar mengetatkan pengawasan pada gelaran Pilkada serentak akhir 2024 mendatang. Hal ini mengingat banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang diduga terjadi dalam Pemilu 2024 dan saat ini tengah disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pengawasan dan penegakan hukum harus berbenah serius mengingat banyak pelanggaran yang terjadi di pemilu yang penyelesaiannya dianggap kurang memuaskan,” kata Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Rabu (17/4).
Lebih spesifik, Titi menyoroti terkait beberapa pelanggaran yang dibawa ke MK seperti politisasi bansos hingga dugaan pengerahan ASN untuk kepentingan elektoral. “Terutama soal politisasi bansos, mobilisasi partisan aparatur sipil negara dan birokrasi, serta kepala desa dan perangkat desa yang tidak netral. Hal itu menjadi perhatian serius agar tidak diduplikasi dalam penyelenggaraan Pilkada karena pragmatisme para calon yang ingin menang menggunakan cara atau jalan pintas yang menyimpangi hukum,” kata dia.
Titi juga menilai, Bawaslu harus mewaspadai praktik suap atau politik transaksional di balik pencalonan dalam Pilkada. “Baik untuk kepentingan paslon mendapatkan tiket pencalonan dengan cara melakukan mahar politik ataupun praktik menyuap penyelenggara demi meloloskan calon yang sejatinya tidak memenuhi syarat,” kata dia.
KPU dan Bawaslu juga mesti memperkuat jajarannya agar tidak rentan pada praktik koruptif yang bisa berpengaruh fatal terhadap integritas pilkada.
Sementara itu, Ketua Dewan Pakar PAN, Dradjad Hari Wibowo, menyebut tuduhan politisasi bantuan sosial (bansos) itu basisnya lemah. Hakim diyakini akan menolak klaim tentang politisasi bansos. “Premisnya kan bansos itu ekuivalen dengan suara yang diperoleh. Premis ini terpatahkan dengan sejumlah argumen,” kata Dradjad, Rabu (17/4/2024).
Premis ini, kata Dradjad terpatahkan dengan argumenasi bahwa secara politik riil, mereka yang pernah terjun memperebutkan suara rakyat tahu bahwa premis itu salah. Banyak caleg dan calon kepala daerah yang suaranya kecil meski sudah menebar bansos besar-besaran. Bahkan efeknya ada sebagian caleg dan calon kepala daerah yang menarik kembali bantuannya.
“Sebagai unsur pimpinan fraksi dan parpol sejak dua puluh tahun lalu (2004), saya tahu betul betapa kecilnya rasio jumlah suara versus jumlah bansos. Calon masih menebar bansos hanya sebagai syarat minimal agar didengar ketika berkampanye. Tapi mereka tahu, bansos mereka belum tentu menghasilkan suara,” papar Dradjad yang juga anggota Dewan Pakar Timses Prabowo-Gibran.
Kedua, lanjut Dradjad, Komeng dan Jihan Fahira. Suara mereka besar sekali tanpa memakai bansos. Beberapa pesohor lain juga seperti itu. “Ketiga, tidak ada bukti ilmiah yang membenarkan premis itu. Belum pernah ada survey lapangan yang membuktikan hubungan kausalitas antara bansos dengan suara,” ungkap Dradjad.
Dengan argumen tersebut, ditambah argumen-argumen kuat dari para lawyers Prabowo-Gibran, Dradjad yakin hakim akan menolak klaim tentang politisasi bansos. (bbs/san)