PERUBAHAN penyebutan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Separatis Teroris (KST) kembali menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) menunjukkan kegamangan TNI dalam mendefinisikan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Problem pendefinisian itu sekaligus menunjukkan dilema pemerintah dalam menghadapi eksistensi kelompok separatis ini.
Dari KKB ke OPM
Sebagaimana diberitakan, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengubah penyebutan TPNPB kembali menjadi OPM melalui Surat Keputusan Nomor STR/41/2024 tertanggal 5 April 2024. Sebelumnya, penamaan OPM menjadi KKB atau KST disepakati sejak tahun 2021. Dengan penamaan KKB sebagai kelompok teroris, maka sejak saat itu penanganannya memakai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut TNI, pengembalian nomenklatur OPM karena TPNPB merupakan suatu organisasi yang menyatakan dirinya tentara atau kombatan. Maka sebagai kombatan, berlaku hukum humaniter internasional yang mengatur bahwa dalam perang, kombatan boleh diserang atau menjadi korban. Karena itu, Panglima TNI menegaskan bahwa OPM hanya bisa dihadapi dengan kekuatan senjata dengan tidak membiarkan ada “negara” di dalam negara.
Sementara itu, Polri masih menggunakan istilah KKB dengan alasan belum ada arahan untuk mengubah istilahnya kembali menjadi OPM. Dengan istilah KKB, maka penanganannya adalah penegakan hukum oleh polisi dengan memperlakukan kelompok bersenjata itu sebagai pelaku kriminal atau teroris.
Perbedaan definisi ini, sebagai KKB/KST atau OPM, potensial menjadikan pendekatan dalam menghadapinya berbeda dan penanganannya menjadi tidak sinergis antaraktor. Hal ini akan semakin memperumit kompleksitas penyelesaian konflik di Papua. Karena itu, seharusnya pemerintah, TNI, Polri, dan pihak terkait perlu duduk bersama untuk mendefinisikan dan merumuskan strategi yang tepat.
Tiga Pendekatan
Dalam menghadapi terorisme, kelompok bersenjata, maupun gerakan separatis, secara teoretis ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan. Pertama, pendekatan realis (realist approach) yang meyakini bahwa tidak ada cara lain dalam menghadapi kekerasan kecuali dengan kekerasan pula. Maka cara-cara militeristik harus dikedepankan dalam memberantasnya.
Kedua, pendekatan liberal (liberalist approach) yang menegaskan bahwa menghadapi kekerasan dengan kekerasan hanya akan menciptakan lingkaran setan kekerasan (vicious circle of violence). Karena itu, cara terbaik adalah melalui pendekatan humanis, ask them to talk, mengajak untuk bernegosiasi dengan mendengarkan apa yang menjadi aspirasi mereka. Cara-cara persuasif perlu diutamakan untuk membuat mereka merasa didengar.
Ketiga, pendekatan konstruktivis (constructivist approach). Menurutnya, jalan negosiasi bukanlah solusi karena negara tidak mungkin duduk sama tinggi dengan kelompok pemberontak. Pendekatan ini berasumsi bahwa cara terbaik adalah dengan menyelesaikan akar persoalannya. Bahwa terorisme ataupun separatisme tidaklah lahir dari ruang hampa, melainkan tumbuh dan berkembang dari lahan-lahan subur beragam permasalahan. Maka pemerintah harus menyelesaikan masalah itu hingga ke akar-akarnya.
Mencari Solusi
Dalam konteks penyelesaian konflik puluhan tahun di Papua antara pemerintah Indonesia dan kelompok separatis, pemerintah sejatinya telah mengintegrasikan ketiga pendekatan di atas. Hanya saja, sejauh ini integrasi ketiganya masih menjadi persoalan tak berkesudahan dan acapkali tumpang tindih bisa jadi karena kurangnya sinergitas antar aktor, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, Polri, dan lainnya.
Studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada tahun 2009 menyebut bahwa akar masalah di Papua adalah pertautan persoalan status dan sejarah politik, diskriminasi, kegagalan pembangunan, serta kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Penyelesaian persoalan kegagalan pembangunan berusaha dilakukan pemerintah, terutama di masa pemerintahan Joko Widodo, dengan menaikkan dana otonomi khusus dan membangun infrastruktur secara besar-besaran. Persoalan diskriminasi juga berusaha diretas dengan memberikan otonomi kepada masyarakat Papua dalam politik dan pemerintahan. Juga suara dan aspirasi masyarakat Papua berusaha diakomodir dan semakin diberi ruang.
Tetapi pada saat yang sama, pengerahan militer dan penggunaan kekuatan bersenjata menjadikan upaya penyelesaian masalah menjadi semakin suram karena berhadapan dengan problem HAM. Bagai menyiram bensin pada bara, cara ini membuka luka lama dan traumatik terkait sejarah politik integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terlebih lagi penyebutan kembali nomenklatur OPM menunjukkan bahwa TNI hanya akan memakai jalan bersenjata dalam menangani konflik ini. Artinya, lingkaran setan kekerasan masih akan terus berlanjut dan belum akan mereda. Bisa jadi akibatnya, alih-alih mereda, aksi kekerasan oleh kelompok separatis menjadi semakin tidak terkendali yang kian memperkeruh jalan panjang upaya penyelesaian konflik. Apalagi, patut diingat bahwa TPNPB didukung oleh beberapa negara Melanesia yang bisa semakin vokal berbicara di forum-forum internasional menyuarakan narasi-narasi pelanggaran HAM dan penindasan oleh pemerintah atas rakyat Papua.
Menempuh jalan dialog dengan pendekatan yang humanis juga menjadi dilematis. Sebab, berpotensi memberi ruang bagi mereka untuk memaksakan aspirasinya melalui hak menentukan nasib sendiri (self-determination). Lepasnya Timor Timur melalui pemberian self-determination (referendum) menjadi sejarah Republik Indonesia yang tidak boleh terulang di Papua. Pada saat yang sama, keberhasilan pemerintah berdamai dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) perlu menjadi catatan dan pelajaran sejarah dalam menangani persoalan Papua, sekalipun tentu dengan situasi dan kondisi yang berbeda.
Pada akhirnya, pemerintah dan elemen-elemen terkait perlu secara bersama memikirkan dan merumuskan strategi dan model pendekatan terbaik untuk menyelesaikan persoalan ini, secara sinergis, kohesif, komprehensif, dan satu suara. Pemerintahan baru mendatang punya tugas berat untuk menemukan solusi dan upaya penyelesaian terbaik atas konflik berkepanjangan ini, sebagai sebuah warisan (legacy) sejarah. (*)
*(Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)
Diskusi tentang ini post