PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak telah di depan mata. Seluruh daerah baik tingkat satu (provinsi) maupun tingkat dua (kabupaten dan kota) akan memiliki kepala daerah baru untuk periode 2024 – 2029.
Sebagai masyarakat yang akan memilih para calon kepala daerah pada tanggal 27 November 2024 mendatang, tentunya kita harus menjadi pemilih yang cerdas. Pemilih yang memilih calon kepala daerah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang ilmiah, terukur, dan jelas.
Dalam memilih calon kepala daerah, kita sebagai masyarakat pemilih yang cerdas hendaknya didasarkan kepada kualitas, kapasitas dan kapabilitas dari calon tersebut. Jangan lagi kita terjebak oleh politik uang yang ditawarkan oleh calon dan tim suksesnya.
Jebakan politik uanglah yang sejatinya menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi masyarakat itu sendiri. Akan banyak kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah bukan berdasarkan kepentingan publik, melainkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Inilah alasan mengapa banyak kepala daerah terpilih yang kemudian menjadi pesakitan lembaga anti rasuah.
Berdasarkan data yang diambil dari laman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004 hingga 2023 terdapat 188 orang kepala daerah yang menjadi pesakitan KPK. Dari 188 orang kepala daerah itu, 25 orang adalah Gubernur, dan 163 orang lagi adalah Bupati, Walikota atau Wakilnya. Dahsyatnya lagi, sejak 2006 hingga 2023 selalu saja ada kepala daerah atau wakil kepala daerah tingkat dua yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah tingkat dua atau wakilnya, tertinggi terjadi pada tahun 2018 yakni sebanyak 30 orang. Luar biasanya lagi, pada tahun 2018 jumlah pelaku tindak pidana korupsi dari kalangan anggota legislatif juga tertinggi yakni sebanyak 103 orang.
Data di atas, hendaknya jadi perhatian dan pertimbangan yang serius bagi seluruh masyarakat pemilih dalam memilih calon kepala daerah. Jangan lagi tergiur dengan rupiah yang tak seberapa, namun akibat buruknya bagi masyarakat bisa jadi sangat lama.
Uang rakyat yang harusnya digunakan untuk membangun daerah yang dipimpinnya, justru berpindah dari rekening kas daerah ke rekening pribadi sang kepala daerah. Ini wajib dihentikan, karena politik uang rusaklah prinsip-prinsip demokrasi yang digadang-gadang.
Memang politik uang tidak hanya terjadi di masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum kalau politik uang juga terjadi di tataran para petinggi partai ketika menyeleksi para bakal calon kelapa daerah. Mahar, itulah istilah yang beredar di masyarakat terkait politik uang di tingkat partai.
Dengan berbagai cara, maka si bakal calon kepala daerah mencari uang untuk memenuhi mahar tersebut. Bisa jadi dia menguras tabungan dan hartanya, bahkan ada yang terpaksa meminjam dana riba dari pihak lain untuk memenuhi syahwat politiknya.
Keadaan seperti di atas, tak luput dari pengamatan para pengusaha hitam alias Bohir. Melihat calon potensial yang tengah kekurangan modal, sang Bohir datang menawarkan bantuan finansial dengan jaminan sang Bohir akan mendapatkan proyek pada saat sang calon terpilih.
Sungguh mengerikan jika kondisi di atas diteruskan. Karena kondisi yang terjadi secara terus menerus sangat besar kemungkinannya akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan itu akan menjadi budaya di masyarakat.
Ayo jadi masyarakat pemilih yang cerdas. Jadilah pemilih yang tidak menukarkan masa depan dengan kepentingan sesaat. Jadilah masyarakat pemilih yang memilih calon kepala daerah dengan pertimbangan logis dan akademis, bukan pragmatis dan materialistis.
Pemilih yang cerdas akan memilih calon kepala daerah yang memiliki kualitas, kapasitas, dan kapabilitas. Sebaliknya, pemilih yang kurang cerdas hanya akan memilih calon kepala daerah berdasarkan popularitas dan “isi tasnya”.
Kualitas merupakan keunggulan yang dimiliki oleh seorang calon kepala daerah dibandingkan dengan calon lainnya. Hal ini tercermin dari kejelasan dan kelayakan visi dan misi yang ditawarkan, serta rekam jejak integritas seorang calon kepala daerah.
Pengalaman, kemampuan manajerial, keterbukaan, dan komitmen sosial juga dapat menjadi ukuran kualitas seorang calon kepala daerah. Faktor lain yang dapat dijadikan sebagai ukuran kualitas calon kepala daerah adalah latar belakang dan tingkat pendidikan terakhirnya.
Sementara itu, kapasitas calon kepala daerah merupakan kemampuan intrinsik yang dimiliki oleh seorang calon kepala daerah. Kapasitas meliputi kemampuan untuk membuat keputusan, mengelola sumber daya, dan memimpin pelaksanaan kebijakan publik di daerahnya.
Kapasitas seorang calon kepala daerah sangat ditentukan oleh latar belakang dan tingkat pendidikannya. Kapasitas calon kepala daerah juga akan terlihat dari kemampuannya berkomunikasi, kepemimpinan, serta pengetahuannya tentang masyarakat dan daerah yang akan dipimpinnya.
Terakhir adalah kapabilitas calon kepala daerah. Kapabilitas seseorang dibentuk oleh kualitas dan kapasitas yang dimilikinya. Kapabilitas merupakan kemampuan dan kualifikasi yang dimiliki oleh calon kepala daerah untuk menjalankan tugas-tugas kepemimpinan sebagai kepala daerah..
Kapabilitas calon kepala daerah dapat dilihat dari pengalaman dan kemampuannya dalam mengelola berbagai bidang yang relevan dengan tugas kepala daerah. Kapabilitas juga tergambar dari visi dan misi yang ditawarkan, serta harapan yang diberikan kepada masyarakat.
Memahami dan menilai kualitas, kapasitas, dan kapabilitas seorang calon kepala daerah sangat penting agar menghasilkan keputusan dan pilihan yang terbaik. Dengan demikian, kita telah berikhtiar maksimal untuk mendapatkan kepala daerah yang benar-benar mengedepankan kepentingan masyarakat dalam setiap kebijakan yang diambilnya.
Sebaliknya, memilih calon kepala daerah hanya dengan mempertimbangkan popularitas dan “isi tasnya”, tentu berpeluang besar untuk menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas, serta tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup dalam memimpin masyarakat dan daerahnya.(*)
Penulis adalah Ketua Program Studi Teknik Industri, Universitas Buddhi Dharma Tangerang.
Diskusi tentang ini post