SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan tenggat waktu dua pekan kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk mencari solusi dan strategi agar harga obat dan alat kesehatan (alkes) di Indonesia lebih terjangkau.
Selain harga obat dan alkes, Presiden juga memerintahkan untuk mencari solusi guna meningkatkan daya industri kesehatan di Indonesia semakin maju. “Dua minggu [timeline],” kata Budi seusai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo terkait harga obat dan alat kesehatan bersama sejumlah menteri lainnya, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Budi mengungkapkan, Presiden Jokowi sempat bertanya mengapa harga obat dan alat kesehatan di dalam negeri lebih mahal, tetapi industri farmasinya tidak kunjung maju. Padahal, seharusnya tingginya harga obat membuat pendapatan industri farmasi membengkak.
“Dia (Presiden Jokowi) ingin harga alat kesehatan dan obat-obatan itu bisa sama dong dengan negara-negara tetangga. Kan kita harga alat kesehatan dan obat-obatan mahal. Kenapa harga obat dan alkes tinggi, yang kedua kok industrinya enggak maju-maju,” kata Budi.
Alkes dan obat di Indonesia mahal dibandingkan negara lain. Bahkan bisa tiga hingga lima kali lebih mahal dari negeri jiran, Malaysia.
“Perbedaan harga obat itu tiga kali, lima kali dibandingkan dengan di Malaysia misalnya, 300% kan (sampai) 500%,” ujar Budi. “Pajak kan gampangnya paling berapa, pajak kan 20 persen, 30 persen. Enggak mungkin gimana menjelaskan bedanya 300 persen, 500 persen,” ujarnya.
Budi membeberkan sejumlah faktor yang menyebabkan tingginya harga alkes dan obat-obatan di dalam negeri. Pertama, terdapat inefisiensi jalur perdagangan Indonesia. Budi menyebut tata kelola perdagangan harus dibuat semakin transparan sehingga tidak ada peningkatan harga yang tidak masuk akal.
Kedua, pajak alkes dan obat. Kemenkes tengah berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk membuat sistem perpajakan alkes lebih efisien, namun tidak mengganggu pendapatan pemerintah.
Ketiga, masalah koordinasi antara kementerian/lembaga terkait. Ia pun mencontohkan, apabila Indonesia ingin mengimpor USG secara keseluruhan, mereka tidak dikenakan bea masuk.
“Tapi kalau kita ada pabrik dalam negeri beli komponen layar USG, elektronik buat USG, bahan bakunya malah dikenakan pajak, dikenakan bea masuk 15 persen,” ujarnya.
“Ini kan ada inkonsistensi. Di satu sisi kita ingin dorong industri ini supaya produksi dalam negeri, tapi di sisi lain supporting insentifnya atau insentifnya enggak line (satu garis lurus),” jelas Budi.
Oleh sebab itu, mantan Wakil Menteri BUMN itu mengaku Presiden telah meminta kementerian teknis untuk saling berkoordinasi dan menemukan solusi untuk membuat harga alkes dan obat lebih terjangkau di Indonesia.
“Ada biaya-biaya yang mungkin harusnya tidak harus dikeluarkan, kan ujung-ujungnya yang beli juga kan pemerintah. Nanti kalau layanan kesehatan ini kan sekarang hampir semuanya dibayar BPJS,” ujarnya. “Jadi balik lagi, kalau mahal pemerintah yang akan bayar. Itu sebabnya kita harus mencari kombinasi yang semurah mungkin,” katanya.
Selain itu, Jokowi juga meminta agar kementerian/lembaga terkait untuk mengembangkan industri kesehatan dalam negeri sehingga mampu memberikan nilai kekuatan kepada Indonesia apabila kemungkinan terburuk pandemi terjadi di suatu hari nanti.
Misalnya, kata dia, dengan memberikan insentif bea masuk kepada pabrik pengimpor bahan baku obat dan alat kesehatan ketika Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana menyebarkan cath lab ke pelayanan kesehatan di semua kabupaten/kota.
“Ingin dong kalau bisa pabrik cath lab dari GE atau dari China bisa masuk. Gimana kita memberikan insentif agar pabrik-pabrik ini bisa masuk karena ada rencana pembelian pemerintah. Koordinasi ini yang tadi Bapak Presiden minta coba dirapikan, nanti kan ada Pak Luhut di (rapat) sana dua minggu,” jelasnya.
Dua minggu lagi, bakal ada rapat lanjutan setelah semua kementerian dan lembaga melakukan kajian mendalam soal faktor apa saja yang akan membuat harga obat-obatan bisa jadi lebih murah.
“Apa itu tadi ada inefisiensi dalam perdagangannya, jual belinya, banyaklah. Apakah masalah tata kelola, pembeliannya, kita juga mesti bikin supaya lebih transparan. Ada biaya-biaya yang mungkin harusnya tidak harus dikeluarkan,” papar Budi Gunadi. (bbs/san)
Diskusi tentang ini post