SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Sebanyak 698 orang warga negara Indonesia (WNI) menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sepanjang tahun 2024. Jumlah tersebut tercatat sejak1 Januari 2024 hingga 1 Juli 2024.
Data tersebut diungkapkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). “Korban TPPO untuk periode Januari sampai 11 Juli 2024 ini adalah 698 orang. Ini data kami dari Bareskrim Polri,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti, Senin (15/7/2024).
Menurut Woro, jumlah korban TPPO pada 2024 jauh berkurang dibandingkan 2023 yang berjumlah 3.366 orang. Sedangkan pada 2022 tercatat ada 668 korban TPPO. “Jadi kalau 2023 ini adalah 3.366, sementara untuk yang Januari sampai Juli 2024 ini adalah 698 orang,” ucap Woro.
Berdasarkan data per provinsi, jumlah korban terbanyak berasal dari Kepulauan Riau (Kepri) yakni sebanyak 140 orang, Kalimantan Utara (Kaltara) 130 orang, dan Jawa Barat (Jabar) 79 Orang.
“Jadi kayaknya ini pintu masuk, pintu masuk ya, ke Kepri, terus kemudian Kaltara, itu kayak sebagai pintu masuk-pintu masuk. Jadi memang itu yang terbanyak kasusnya,” ujar Woro.
Mayoritas korban berusia dewasa sebanyak 699 orang, ada juga korban anak-anak 18 orang, dan lansia 11 orang. Dari jenis kelamin, terbanyak adalah laki-laki yakni 434 orang dan perempuan 294 orang.
“Dan kalau kita lihat antara korban laki dan perempuan, ternyata masih banyak laki-lakinya. Yang perlu kita cermati di sini adalah anak perempuan. Ini juga ternyata menjadi korban TPPO,” ucap Woro.
Sebagian besar warga tersebut menjadi korban TPPO di Malaysia, yakni 637 orang. Selain itu, juga berasal dari Suriah, Oman, Myanmar, Irak, Kamboja, Filipina, dan Singapura.
Menurut Woro, kasus perdagangan orang kerap terjadi di Malaysia karena wilayahnya berbatasan langsung dengan Indonesia. Kondisi geografis ini membuat pelaku TPPO lebih mudah menyelundupkan atau membawa korban dari Indonesia.
Woro memastikan bahwa Bareskrim Polri saat ini telah mengidentifikasi pelaku dan korban TPPO. Sementara itu, Kementerian Sosial (Kemensos) juga telah memberikan rehabilitasi sosial maupun kewirausahaan.
Menurut Woro, para korban tersebut saat ini sudah mendapatkan layanan rehabilitasi sosial, mulai dari pemenuhan kebutuhan, pemeriksaan kesehatan dan psikologis. Di samping itu, terdapat korban yang juga mendapatkan bantuan kewirausahaan. Hal ini diharapkan membuat penyintas bisa mendapatkan penghasilan, sekaligus mencegah mereka kembali menjadi korban TPPO.
“Jadi kalau kita lihat tahun 2023 yang sudah direhabsos dan juga diberikan kewirausahaan itu adalah 1.359 dan tahun 2024 ini sebesar 728. Jadi ini yang sudah difasilitasi sampai dengan Juli 2024. Ini hasil kami melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian Lembaga,” tambahnya.
Woro menyebut korban TPPO yang paling banyak ditangani oleh pemerintah berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB), kemudian Jawa Timur (Jatim), dan Aceh.
Saat ini, lanjut Woro, pemerintah tengah fokus menangani persoalan TPPO dengan menyelesaikan masalah di sisi hulu. Hal itu dilakukan dengan memberikan edukasi kepada tokoh masyarakat, hingga kepala desa. Selain itu, Kemenko PMK juga mendorong peningkatan koordinasi dan pengawasan antara Gugus Tugas TPPO di tingkat pusat dengan pemerintah daerah.
“Kemudian mendorong terbentuknya gugus tugas TPPO di daerah melalui Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, serta Kepolisian,” kata Woro. “Jadi ini yang kita lakukan untuk memastikan penanganan TPPO-nya secara komprehensif, termasuk koordinasi dan juga penguatan monev,” imbuhnya.
Pemerintah mengingatkan semuan pihak untuk mewaspadai kasus TPPO. Sebab, kejahatan itu kini tidak hanya menyasar masyarakat dari kalangan berpendidikan rendah, tetapi juga yang berpendidikan tinggi.
“Yang namanya TPPO itu tidak mengenal hanya yang menengah ke bawah, tapi juga ternyata kena juga pada mereka yang berpendidikan. Dan terkadang mereka tidak sadar sudah menjadi korban” ujar Woro. Hal itu, kata Woro, terbukti dengan adanya kasus TPPO yang sempat menimpa sejumlah mahasiswa perguruan tinggi beberapa waktu lalu. (bbs/san)