SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Sepanjang periode Juni sampai Agustus 2024, terdapat 9 peristiwa penyiksaan oleh institusi penegak hukum. Delapan penyiksaan dilakukan oleh kepolisian, sedangkan satu peristiwa terjadi di Lapas. Demikian temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
“Setidaknya dalam kurun waktu tiga bulan dari bulan Juni sampai Agustus 2024, kami menemukan setidaknya 9 peristiwa yang melibatkan dua institusi yaitu kepolisian dan lembaga pemasyarakatan,” kata Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras, Helmy Mahendra dalam jumpa pers rilis temuan penyiksaan yang dilakukan oleh institusi penegak hukum, di Kantor Kontras, Jakarta, Senin (12/8).
“Jika dirata-ratakan, pemantauan Kontras menemukan setidaknya 10 orang menjadi korban penyiksaan setiap bulannya pada rentang Juni-Agustus 2024, menunjukkan adanya gejala normalisasi terhadap kekerasan oleh aparat,” jelas Helmy.
Helmy menyampaikan, dari penyiksaan yang dilakukan kepolisian menyebabkan 28 orang terluka dan satu orang meninggal dunia. Sementara di lingkungan lapas, kekerasan dilakukan oleh sipir dan menyebabkan satu korban luka.
Kontras juga melaporkan bahwa 15 orang yang menjadi korban merupakan anak di bawah umur. “Anak merupakan korban yang cukup masif dalam praktek penyiksaan di Indonesia untuk Juni 2023-Mei 2024,” tandas Helmy.
Kontras menyoroti banyaknya tindakan kekerasan atau penyiksaan oleh kepolisian menjadi bukti institusi tersebut memiliki pekerjaan rumah (PR) besar yang harus diselesaikan secara serius.
“Ini perlu jadi catatan penting dan seolah-olah setiap tahunnya kita hanya selalu mengulang cerita-cerita lama dan tidak ada perubahan signifikan yang dilakukan institusi kepolisian,” ungkapnya.
Helmy menegaskan, ada 4 motif dasar penyiksaan, yaitu untuk mendapatkan pengakuan, keterangan, sebagai bentuk penghukuman, dan intimidasi melalui pengancaman, paksaan, serta diskriminasi.
“Dalam 3 bulan ini ada 2 motif yang biasa digunakan, yaitu pengakuan dan penghukuman,” katanya.
Hal ini, kata Helmy, tidak terlepas dari diskresi besar yang dimiliki kepolisian, seperti penyidik yang menginginkan jalan instan untuk kepentingan pembuktian. “Sebab pengakuan pelaku bisa dijadikan alat bukti,” singkatnya.
Sementara itu, lanjut Helmy, satu tindakan penyiksaan oleh sipir juga tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai kasus lainnya yang tidak terpublikasi. Untuk tindakan penyiksaan di lingkungan TNI, Kontras mengaku belum menemukannya. Meski demikian, Kontras memiliki alasan sendiri mengapa pada periode ini belum menemukan kasus penyiksaan dilakukan TNI.
“Tapi perlu diketahui juga sebagaimana yang selalu kami tekankan bahwa tindakan penyiksaan yang terjadi selalu merupakan fenomena gunung es di mana enggak semuanya bisa muncul karena ada beberapa hal, mungkin antara ketakutan korban atau mungkin karena tidak terbukanya lembaga terkait,” tuturnya.
“Itu kenapa kami sampai dengan saat ini kami belum menemukan adanya keterlibatan TNI dalam praktik penyiksaan dan lain sebagainya,” sambung dia.
Berdasarkan temuan tersebut, Herlmy mengatakan, KontraS merekomendasikan pertama hal yakni pengawasan dan akuntabilitas terhadap aparat penegak hukum, khususnya penjatuhan sanksi pidana dan etik kepada aparat yang terbukti melakukan penyiksaan. Kedua, memberikan perlindungan yang komprehensif bagi korban penyiksaan, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan, hukum, dan psikososial.
Ketiga, melakukan reformasi menyeluruh terhadap sektor keamanan, termasuk perubahan paradigma dari pendekatan keamanan berbasis kekerasan menjadi pendekatan keamanan berbasis HAM. Keempat, melakukan ratifikasi secara menyeluruh terhadap Perjanjian Internasional terkait penyiksaan khususnya Optional Protocol to the Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (OPCAT). (bbs/san)
Diskusi tentang ini post