SATELITNEWS.COM, PANDEGLANG – Siapa di antara kita yang pernah mengelilingi Alun-alun Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang. Kemudian, menemukan di sisi sebelah Timur berdiri sebuah tiang besi unik, tepatnya di depan kantor Telkom Kecamatan Menes. Tiang itu hanya satu-satunya di sana.
Bagian bawahnya, terbuat dari besi yang dibentuk kotak dan di sekrup di beberapa bagiannya mirip sebuah gardu mini. Sedangkan, bagian atasnya mirip dengan menara lainnya. Dibangun dari besi-besi, yang disusun bersilangan dengan bentuk yang mengerucut atau mengecil hingga ke bagian atasnya.
Namun yang paling unik, adalah bagian puncaknya. Karena, ada semacam mahkota yang di bagian tengahnya ada besi kecil lurus yang dirangkai dengan besi – besi kecil mirip simbol petir.
Bentuknya yang unik itulah, yang membuat saya bertanya-tanya tiang apakah itu ?. Sayang sekali, orang-orang di sekitar yang saya tanya, tidak ada yang mengetahui sejarah atau fungsi tiang tersebut.
Nanda, warga setempat yang saya temui mengaku, sudah melihat tiang itu dari sejak ia kecil tanpa tahu fungsinya. Begitu juga dengan Satrio. Maklum keduanya terbilang masih muda, sehingga tidak tahu asal usul tiang tersebut.
Lantaran berada di depan kantor telekomunikasi saya sempat berasumsi, kalau itu mungkin tiang transmisi radio atau telegraf atau telepon zaman dulu. Apalagi, sekitar 10 langkah dari lokasi tersebut ada bangunan eks rumah komisaris polisi serta tangsi, atau barak militer di era kolonial Belanda yang biasanya salah satu aktivitas militernya adalah mengirimkan informasi melalui telegraf atau saluran radio.
Namun asumsi saya itu, tidak berujung pada penemuan bukti catatan atau dokumen. Sehingga, pada akhirnya fungsi tiang tersebut masih menjadi misteri.
Beruntung, tak lama kemudian, titik terang mulai saya temukan ketika menelusuri dokumen, dan menemukan catatan tentang tiang serupa di daerah Yogyakarta dan Pasuruan, Jawa Timur.
Ternyata itu adalah, tiang listrik yang di dua daerah tersebut dinamai dengan Cagak Aniem. Cagak sendiri berarti, tiang atau pasake. Sedangkan Aniem adalah, singkatan dari perusahaan listrik swasta di era kolonial Belanda yaitu Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM).
Dari dokumen itu diketahui, kalau perusahaan swasta Belanda itu berdiri pada 26 April 1909 dan menguasai sekitar 40% penjualan listrik di zaman tersebut.
Pertanyaannya kemudian, apakah tiang listrik yang ada di Alun-alun Timur Menes adalah tiang listrik milik Aniem, atau perusahaan listrik lainnya, karena ternyata di era tersebut tak hanya Aniem yang bermain dalam perdagangan listrik di Indonesia.
Dikutip dari Wikipedia, selain Aniem pada tahun 1920, didirikan Perusahaan Listrik Umum Bandung sekitarnya (Gemeenschappelijk Electrisch Bedrif Bandoeng en Omstreken atau disingkat menjadi GEBEO).
Perusahaan itu berdiri dengan modal dari pemerintah dan swasta, dan menggunakan aliran air sungai sebagai bahan baku pembuat listrik atau menggunakan sistem pembangkit listrik tenaga air atau PLTA. Perusahaan itu, mula-mula mengelola dua pembangkit, yaitu PLTA Pakar di Bandung dan PLTA Cijedil di Cianjur.
Lantaran makin berkembang, perusahaan tersebut membuat tiga anak usaha lagi berdasarkan area pelayanan kelistrikannya. Ketiga anak perusahaan itu yakni,d Landswaterkrachtbedrijf Bandoeng untuk area Priangan, Landswaterkrachtbedrijf Cirebon untuk area Cirebon dan sekitarnya, kemudian Landswaterkrachtbedrift West Java untuk area Bogor, Sukabumi, Jakarta dan Rangkasbitung.
Perusahaan ini mulai mengoperasikan PLTA Ubrug (2×5.400 kilowatt) pada tahun 1924, dan PLTA Kracak (2×5.500 kilowatt) pada tahun 1929. Dengan saluran transmisi listrik 70 kilovolt, dua PLTA tersebut dihubungkan dengan gardu induk di Bogor.
Dari gardu induk tersebut, listrik lalu dihantarkan dengan menggunakan saluran transmisi 70 kilovolt ke gardu induk di Cawang, Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta), Weltevreden (kini Gambir), dan Ancol.
Sedangkan dari PLTA Ubrug, pada tahun 1926, perusahaan ini membangun saluran transmisi listrik 30 kilovolt sepanjang 16 kilometer ke gardu induk, di Lembursitu kini Kecamatan Lembursitu untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sukabumi dan sekitarnya.
Lalu, dari PLTA Kracak yang berada di daerah Leuwiliang, Kabupaten Bogor pada tahun 1931, dibangun saluran transmisi listrik 30 kilovolt sepanjang 57 kilometer untuk memenuhi kebutuhan listrik di Rangkasbitung dan sekitarnya termasuk di Pandeglang.
Kemungkinan besar, listrik di Kabupaten Pandeglang termasuk Kecamatan Menes kala itu, berasal dari kegiatan kelistrikan di PLTA Kracak Leuwiliang tersebut.
Iin Mulyana, salah satu warga paling tua di Kampung Sawah, yang berada di lingkungan Alun-alun Menes mengaku, tidak ingat kapan mulai ada listrik di daerahnya.
Namun, bagi perempuan kelahiran tahun 1942 silam itu, listrik adalah barang mahal dan biasanya hanya ada di kantor-kantor pemerintahan. Sedangkan di rumah-rumah warga, masih banyak yang menggunakan lampu teplok atau cempor.
Lampu tersebut, berbahan bakar minyak yang ditampung di wadahnya yang dihubungkan dengan sumbu berupa kain yang dinyalakan dengan api. Agar api tersebut tidak tertiup angin, maka ditutup dengan songsong atau penutup dari bahan kaca yang sangat tipis.
Lampu itu, kemudian ditempelkan atau diteplokan ke dinding yang sudah dipasang paku, sehingga dinamai lampu teplok.
“Kalau ke mana-mana pas malem atau subuh, biar tidak gelap saat di jalan, kita pakai oncor atau obor dari bambu soalnya waktu itu belum ada senter. Dan listrik juga belum seperti sekarang, jadi banyak tempat yang masih gelap,” kenang Iin, sambil terkekeh.
Iin berharap, bangunan-bangunan tua di Kecamatan Menes termasuk tiang listrik di Alun-alun Timur Menes, bisa dilindungi dan dipelihara oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.
Agar, generasi muda bisa belajar dari sejarah atau bangunan-bangunan tua tersebut. (*)
Diskusi tentang ini post