TAHAPAN pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah memasuki masa kampanye. Janji rasional sampai irasional mulai diumbar oleh paslon dan tim sukses masing-masing. Janji-janji ini bahkan telah mereka sebar jauh sebelum tahapan Pilkada dimulai.
Sudah menjadi pemahaman banyak orang jika pemilihan umum dalam hal ini Pilkada, merupakan ajang adu muslihat, intrik dan kepicikan. Semuanya dibalut dengan strategi kampanye. Dalam praktik politik kini, moral dan prinsip umumnya diabaikan demi meraih kemenangan.
Jika dicermati, janji-janji kampanye Pilkada umumnya terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik. Wajar sebenarnya, sebab terdengar menyenangkan dan dapat membangkitkan angan-angan sehingga masyarakat bisa memberikan suara secara sukarela.
Masyarakat sebagai pemilik suara harus sadar bahwa penyampaian janji politik saat kampanye memakan biaya yang tidak sedikit. Di sisi lain, kemampuan keuangan kandidat sangat terbatas, hal ini turut mendorong para calon kepala daerah mengambil jalan memutar untuk mencari sumber pendanaan lain, sehingga secara tak langsung akan mendorong politik balas budi jika terpilih nanti.
*Rekam Jejak Janji Politik*
Sebagaimana yang telah kita tahu jika para calon pemimpin daerah ini terpilih, janji politik yang diutarakan oleh mereka akan menguap begitu saja. Beri janji dahulu kemudian lupakan, mungkin itu adalah kalimat yang pas untuk menggambarkan lemahnya ingatan berbalut manis mulut kaum politisi.
Tidak perlu terkejut lagi dengan kenyataan ini. Biaya kampanye yang besar, pengerahan tenaga tim sukses dan relawan yang tidak sedikit, serta beberapa faktor lain, menyebabkan semua itu perlu dicari cara agar segera berbalas dengan cepat. Terima atau tidak, alasan ini menjadi salah satu hal yang membuat kepala daerah terpilih lupa untuk menunaikan janji selama masa kampanye.
Dampak dari praktik ini tentu tidak main-main, korbannya tentu tak lain adalah masyarakat. Hak masyarakat untuk menerima pelayanan atas kebijakan pemimpin daerah menjadi terabaikan. Kalaupun ada, biasanya kebijakan tersebut merupakan kebijakan tambal sulam bukan murni atas kepentingan publik, hanya menyelesaikan masalah sementara, tidak berdampak panjang.
Melihat kondisi itu, masyarakat tak punya pilihan lagi selain menerima kenyataan bahwa pemimpin yang telah dipilih tak mampu memenuhi ekspektasi yang telah mereka bangun atas janji kampanye. Akhirnya, Pilkada bukan lagi soal komitmen membangun daerah namun hanya sebatas mencari simpati dan merebut kekuasaan belaka.
Sebenarnya ada secercah harapan untuk melakukan perubahan. Hal ini bisa diraih jika masyarakat dapat bersikap lebih kritis dan tak mudah terbuai oleh janji manis politikus. Meski demikian, harapan tersebut hanya bisa terwujud jika masyarakat secara bersama-sama menumbuhkan kesadaran bahwa Pilkada bukan semata tempat menimbun harapan melainkan sarana membangun serta memperbaiki kehidupan masyarakat di wilayah masing-masing. (*)
PENULIS: Rhomi Ramdani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang (Unpam)
Diskusi tentang ini post