SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Presiden Prabowo Subianto meminta agar dilakukan pengkajian terhadap sistem pemilihan umum (Pemilu). Sistem Pemilu saat ini dinilai tidak efektif, tidak efisien, berbiaya sangat mahal dan tidak mempersatukan.
“Tolong Kemendagri lakukan kajian tentang sistem kepemiluan kita. Tidak efektif, tidak efisien,” kata Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menirukan perintah Prabowo, saat memberikan kata sambutan di seminar “Menata Ulang Desain Sistem Pemilu Indonesia” oleh Perludem, di Jakarta, Selasa (19/11). Perintah itu, kata Bima, disampaikan oleh Prabowo kepadanya saat mengundang calon menteri dan wakil menteri di kediamannya di Kertanegara.
Perintah tersebut disampaikan Prabowo berdasarkan isu yang berkembang di masyarakat seputar mahalnya biaya politik dan bagaimana pemilu dinilai tidak mempersatukan.
“Bagaimana pemilu itu harusnya lebih mempersatukan kita, tetapi banyak eksesnya. Nah ini sama, saya kira apa yang ditangkap Presiden dengan apa yang disuarakan juga oleh para pemikir, para peneliti di kampus, dan teman-teman politisi (sejalan). Jadi, klop sebetulnya,” kata Bima.
Bima mengatakan saat ini Kemendagri masih menjaring aspirasi dari publik, termasuk organisasi atau koalisi masyarakat dalam melakukan kajian perubahan ketentuan pemilu untuk kontestasi pemilihan mendatang.
“Kita akan buka ruang publik ini untuk melakukan kajian-kajian sehingga waktunya cukup, tidak tergesa-gesa, kelihatan perubahan-perubahannya banyak yang mendasar terkait dengan sistem pemilihan, keserentakan, untuk penguatan sistem politik kita,” ujarnya.
Diketahui, DPR menyetujui sebanyak 41 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk ke dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Selain itu, paripurna menyetujui Prolegnas RUU tahun 2025-2029. Di antara 41 RUU tersebut, baleg turut mengusulkan RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Bima juga menyatakan pemerintah membuka opsi untuk mengkaji ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah. “Salah satu opsinya adalah mengkaji threshold tadi baik ambang batas di atasnya tidak boleh terlalu banyak sehingga tidak boleh ada calon tunggal,” jelas Bima.
Saat ini, masih banyak pasangan calon kepala daerah yang melawan kotak kosong dalam pilkada. Bahkan, akibat kesulitan untuk memenuhi ambang batas, partai politik mengalami situasi keterpaksaan untuk bergabung berkoalisi.
Dari situasi ini, muncul fenomena “kawin paksa”. Calon kepala daerah terpaksa maju bersama dalam pilkada meski tidak menyukai pasangannya. Beberapa riset menyebutkan sekitar 50 hingga 60 persen fenomena ini membuat konflik antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah.
Menurutnya, hal ini tidak bisa dibiarkan secara terus menerus. Untuk itu, perlu ada asesmen terhadap sistem pemilu. Upaya ini untuk menjaga demokrasi dan memiliki kesempatan dalam memilih pasangan untuk maju pilkada.
“Harus dibatasi supaya tetap pada demokrasi atau di bawahnya juga jangan terlalu tinggi supaya kita leluasa. Jadi bisa maju, kemudian calon wakilnya pun bisa dengan leluasa orang yang memiliki chemistry dengan calon kepala daerahnya,” tandasnya.
Di sisi lain, Bima Arya mengakui bahwa sistem pilkada yang dilaksanakan secara serentak seperti Pilkada 2024 mempunyai sejumlah kekurangan. “Isu yang paling utama adalah kelemahan dalam pengawasan, aktornya tambah banyak, tetapi resources untuk pengawasannya ya sama saja,” ujar Bima.
Kelemahan lain adalah, isu-isu lokal tidak menjadi sorotan skala nasional. Hal tersebut terjadi karena arus informasi yang begitu deras dari 545 daerah yang menggelar Pilkada Serentak 2024. M
“Nah hari ini terjadi, arus isu yang sangat kompleks, saya ingatkan 500 lebih kota kabupaten, dan satu sama lain saling menihilkan. Ada yang fokus ketika debat di Jakarta, semua ke sana, dan sebagainya,” kata Bima. (bbs/san)
Diskusi tentang ini post