Oleh: Megi Primagara*
Sebuah video berisi dialog penceramah dengan seorang penjual es teh di sebuah acara pengajian viral di media sosial. Lantaran ucapan penceramah memicu kontroversi di mana si penceramah mengeluarkan kata yang mengejek penjual es teh.
Banyak pengguna dan pemengaruh media sosial menyayangkan perkataan si penceramah karena kata yang dilontarkan tidak sesuai dengan latar belakangnya sebagai tokoh agama. Apalagi seorang tokoh agama sering kali dianggap sebagai panutan dan memiliki pengaruh besar terhadap keyakinan masyarakat.
Terlepas pembelaan si penceramah bahwa perkataannya merupakan candaan, namun peristiwa ini mengajarkan perlunya menerapkan komunikasi profetik beserta etika berkomunikasi saat berbicara dengan siapa pun.
Komunikasi Profetik
Komunikasi profetik, menurut Iswandi Syahputra, adalah konsep dalam ilmu komunikasi yang mengacu pada pola komunikasi yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang menjadi teladan bagi umatnya dalam segala hal, termasuk dalam berbicara dengan selalu jujur, amanah, dan terpercaya.
Konsep Komunikasi profetik tidak hanya melihat cara berkomunikasi saja. Tetapi, menekankan pentingnya berkomunikasi dengan nilai-nilai etika dan moral, serta bertujuan untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat.
Hal ini dikarenakan komunikasi profetik bersandar pada tiga pilar, pertama, humanisasi yang berarti memanusiakan manusia, yaitu mengajak kepada kebaikan dan memperlakukan setiap individu dengan hormat dan martabat. Kedua, liberasi berarti membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Dan terakhir, transendensi berarti menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Ketiga pilar komunikasi profetik ini membuat komunikasi tidak hanya berfokus pada penyampaian informasi, tetapi juga pada transformasi sosial dan spiritual masyarakat. Pilar pertama, humanisasi berarti menyampaikan pesan dengan cara yang menghargai dan memuliakan manusia. Sehingga, pada praktik berkomunikasi hendaknya setiap individu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan.
Pilar kedua, liberalisasi yang mendorong setiap manusia dalam berkomunikasi agar menjauhi hal-hal yang buruk dan tidak etis. Serta, menyuarakan kebenaran dan menentang segala bentuk kemungkaran dan ketidakadilan. Sedangkan pilar ketiga, transdensi dalam komunikasi profetik berarti menyampaikan pesan yang mengingatkan manusia akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan, serta mengajak untuk hidup sesuai dengan ajaran-Nya. Sehingga, setiap tindakan dalam berkomunikasi hendaknya selalu berorientasi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Adalah hal wajar saat publik merasa marah dan kecewa serta memprotes terlontarnya sebuah kata ejeken yang ditujukan kepada pedagang es teh oleh si penceramah. Perkataan penceramah kepada pedagang es teh tidak mencerminkan nilai-nilai luhur yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin agama. Sehingga, publik sulit menerima argumen bahwa kalimat-kalimat yang dilontarkan adalah guyonan.
Jika kita mau telaah, sebuah pesan bernuansa guyonan pada dasarnya bertujuan membangkitkan tawa atau kesenangan bersama. Karena pesan guyon tidak bermaksud menyakiti atau merendahkan lawan bicara atau pihak manapun.
Lain halnya dengan pesan mengejek. Pesannya berfokus pada kelemahan atau kekurangan lawan bicara atau suatu pihak. Karena itu ejekan dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan sakit hati pada orang yang menjadi objek pembicaraan.
Ia akan merasa direndahkan dan dihinakan. Inilah kenapa komunikasi profetik menekankan untuk mencontoh teladan Nabi Muhammad SAW dan bersumber kepada Alquran dan Hadist dalam berkomunikasi. Sebagai nabi dan rasul, Nabi Muhammad mengajarkan proses komunikasi kepada sesama manusia yang memanusiakan, tidak merendahkan, bahkan mendorong sebuah perenungan akan kebesaran Illahi sebagai Sang Pencipta.
Rasullah SAW menggunakan bahasa yang menyentuh hati, mengajak orang untuk berpikir dan merenung, serta memberikan motivasi untuk berbuat baik. Sehingga, bahasa menjadi alat komunikasi dakwah yang dapat menggerakkan seseorang untuk beriman kepada Allah SWT.
Dengan komunikasi profetik, sebuah praktik komunikasi akan berpedoman kepada keteladanan Nabi Muhammad SAW yang membuat tersebarnya nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini membuat proses komunikasi memiliki nilai rahmat kepada orang lain, sebagaimana tercantum dalam Alquran surat Yasin ayat 58: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Etika Berkomunikasi
Penceramah sebagai pihak yang membuat dan menyampaikan pesan mungkin lupa bahwa dirinya adalah tokoh publik. Sebagai tokoh publik, masyarakat berharap si penceramah dapat menjadi teladan dalam perkataan, sikap, dan perilaku. Namun masyarakat dipertontonkan bagaimana penceramah kehilangan etika berkomunikasi kepada penjual es teh.
Padahal dalam sejarah kenabiannya, Nabi Muhammad SAW selalu menghormati setiap lawan bicara, bahkan mereka yang menentang ajarannya. Beliau berdakwah dengan cara yang bijaksana dan penuh hikmah. Ingatlah bagaimana Nabi Muhammad dihinakan penduduk kota Thaif. Meski Malaikat Jibril siap membalas namun Rasullah melarang dan malah mendoakan kebaikan untuk penduduk kota Thaif.
Keteladanan ini menunjukkan dalam komunikasi profetik, komunikasi dan etika merupakan satu kesatuan. Seorang komunikator (pembuat pesan) hendaknya memahami bahwa setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang baik dan hormat, tanpa memandang status sosial atau pekerjaan. Apalagi dalam konteks keislaman, seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya sehingga muslim dilarang menghina muslim lainnya. Dengan menyatukan komunikasi dan etika, maka komunikasi dapat membangun keharmonisan antar individu, bukan merusaknya.
Penutup
Setiap ucapan memiliki konsekuensi, baik positif maupun negatif. Sebagai umat beragama, kita perlu belajar dari kasus ini untuk selalu menjaga lisan kita dan berkomunikasi dengan cara yang santun, bijaksana, dan membangun. Karena komunikasi yang baik adalah kunci untuk membangun hubungan yang harmonis.
* Mahasiswa Program Doktor Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung
Diskusi tentang ini post