SATELITNEWS, JAKARTA—Permohonan perlindungan terkait kasus kekerasan seksual yang diajukan ke LPSK naik hampir dua kali lipat pada tahun 2024. Permohonan perlindungan terhadap anak bahkan melonjak drastis mencapai empat kali lipat dibandingkan kasus pada orang dewasa.
“Permohonan perlindungan korban kekerasan seksual meningkat signifikan dari 672 permohonan pada 2022 menjadi 1.063 pada 2024,” kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sri Nurherwati, saat meluncurkan kajian implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam perlindungan saksi dan korban, di Gedung LPSK, Jakarta Timur, Rabu (11/12).
Nurherwati mengatakan, kenaikan angka permohonan yang signifikan tersebut terjadi setelah disahkannya UU TPKS oleh DPR RI 2022 silam. “Peningkatan ini, menunjukkan tingginya kebutuhan akan perlindungan dan pemulihan, sekaligus tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi,” imbuhnya.
Sepanjang 2022-2024 terdapat 2348 permohonan diajukan ke LPSK terkait Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap anak. LPSK hanya menerima 536 laporan TPKS terjadi terhadap orang dewasa. “Selama kurun waktu tiga tahun, 81 persen dari jumlah keseluruhan permohonan terkait kekerasan seksual diajukan untuk korban anak-anak,” ujar Nurherwati.
Berdasarkan klasifikasi gender, anak perempuan lebih rentan mengalami tindak kekerasan seksual dibanding anak lalik-laki. Kerentanan anak laki-laki yang mengalami kekerasan seksual sebesar 32% sedangkan kerentanan anak perempuan 51%.
“Untuk persentase kenaikan terkait tingkat kerentanan ini setiap tahunnya untuk perempuan lebih tinggi lebih hingga 100% tapi kalau gendernya laki-laki itu hanya sebesar 0,55%. Ini menunjukkan betapa kerentanan perempuan itu menjadi sangat tinggi,” katanya.
Permohonan perlindungan korban terkait TPKS terhadap anak, dilaporkan melalui orang tua korban, keluarga, atau saksi. “LPSK juga menerima permohonan yang diajukan langsung oleh korban tanpa melalui orang tua, wali, atau pendamping,” ucap Nurherwati.
Dari sisi wilayah, selama 3 tahun terakhir korban kekerasan seksual yang mengajukan perlindungan ke LPSK paling banyak berasal dari Jawa Barat yakni sebanyak 431 orang. Diikuti DKI Jakarta dengan 271 korban kekerasan seksual dan Lampung dengan 258 korban kekerasan seksual.
Sedangkan dari sisi pintu masuk, permohonan perlindungan melalui WhatsApp menempati posisi tertinggi dengan total 1.405 permohonan. “Media surat berada diurutan kedua dengan 629 permohonan, diikuti pengajuan lansung ke LPSK, sebanyak 311 permohonan,” ujarnya.
Selanjutnya, terlindung LPSK dalam tindak pidana kekerasan seksual selama periode 2022-2024 mencapai 2.518 terlindung. Jumlah terlindung tertinggi adalah korban kekerasan seksual anak sebanyak 1.673 terlindung dan kekerasan seksual sebanyak 845.
Setiap terlindung dapat mengakses beberapa jenis program perlindungan. Dalam kurun waktu tiga tahun (2022-2024), jumlah total program yang diakses sebanyak 4.034 program perlindungan.
Jenis program bantuan yang paling banyak diakses adalah fasilitasi restitusi, dengan 1.505 terlindung. Selanjutnya, program pemenuhan hak prosedural, yang diakses oleh 1.157 terlindung. Program ketiga tertinggi adalah bantuan rehabilitasi psikologis, yang diakses oleh 763 terlindung.
“Hak Prosedural meliputi pemberian keterangan tanpa tekanan, fasilitasi penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, pemberian nasihat hukum, atau pendampingan,” ujar Nurherawati.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo mengatakan, pihaknya juga akan memaksimalkan program perlindungan dan pendampingan untuk korban pelanggaran HAM berat (PHB) masa lalu. Agar seluruh hak milik korban yang sebelumnya hilang bisa dipulihkan sehingga mereka kembali menjalani kehidupan seperti biasa.
Berdasarkan data LPSK, terdapat 1.238 orang korban PHB masa lalu yang mendapatkan perlindungan LPSK. Mereka tersebar di Jawa Tengah sebanyak 662 orang, Yogyakarta 335 orang, Sumatera Barat 100 orang, Jawa Timur 35 orang, DKI Jakarta 32 orang dan Jawa Barat 27 orang.
“Mereka rata-rata kondisinya sangat rentan, baik secara fisik maupun ekonomi. Akibat tindak pelanggaran HAM masa lalu yang dialaminya, korban dan keluarga korban perlu diperhatikan. Selama ini banyak korban membutuhkan bantuan medis dan psikososial ke LPSK,” ujar Antonius. (bbs/san)
Diskusi tentang ini post