SATELITNEWS.COM, SERANG–Kantor Perwakilan Ombudsman Provinsi Banten membuka peluang untuk melakukan investigasi terhadap kasus proyek pagar laut di Desa Muncung dan Desa Kronjo Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Pemagaran itu dinilai telah menghambat mata pencarian nelayan dan petambak ikan setempat.
Saat ini, Ombudsman Banten sedang fokus mendalami kasus yang terjadi di dua desa itu, setelah beberapa waktu lalu pihaknya bersama tim Ombudsman pusat melakukan inspeksi mendadak ke lokasi. Kepala kantor perwakilan Ombusman Provinsi Banten Fadli Afriadi mengatakan, dalam waktu pekan ini pihaknya akan memutuskan apakah kasus yang terjadi di Kronjo itu dilanjutkan ke proses investigasi atau hanya pada pemberian saran saja kepada terlapor dan para pihak terkait.
“Ini kan terlapornya lembaga pemerintah, sedangkan para pihaknya bisa pihak swasta yang terkait dengan proyek itu seperti PIK 2 atau pihak ada perusahaan lain,” katanya, Senin (16/12).
Pasalnya, lanjutnya, informasi yang ia dapatkan belum utuh, baru sekedar informasi dari masyarakat. Informasi itu perlu diperjelas validitasnya. Jika berdasarkan hasil pendalaman memperlihatkan perlu adanya investigasi maka para pihak terkait akan dilakukan pemanggilan.
Meski demikian, diakui Fadli, secara pandangan kasat mata berdasarkan informasi yang didapatkan aktivitas proyek ini sangat merugikan nelayan dan petani setempat. Sebab, ada tiang-tiang bambu yang ditancap di pesisir pantai jalur nelayan dan pengurukan sungai yang menjadi jalur utama irigasi air ke petambak.
“Nelayan terganggu pendapatannya sementara pengeluarannya meningkat karena jalurnya harus berputar. Petani petambak juga sama dengan ditutupnya alur air mereka terganggu,” jelasnya.
Diakui Fadli, proyek pembangunan di Kecamatan Kronjo itu informasi yang ia dapatkan masih simpang siur. Apakah itu masuk PIK atau tidak.
“Sehingga kita masih pada titik pertimbangan untuk melakukan pendalaman,” pungkasnya.
Fadli mengungkapkan, beberapa waktu lalu pihaknya bertemu dengan petambak yang sudah tidak bisa bekerja seperti biasa. Padahal biasanya dalam setahun itu mereka bisa menghasilkan sekitar Rp30 pada sekali panen setiap dua hektarnya.
“Mereka juga tidak ada niatan sama sekali untuk menjualnya. Kalaupun akan dijual, itu tidak boleh ada paksaan dan harganya juga harus sesuai pasaran,” ucapnya.
Berdasarkan perhitungan sementara, tambah Fadli, kerugian nelayan dari adanya tiang-tiang bambu itu mencapai sekitar Rp8 miliar pertahun. Karena biasanya mereka hanya butuh 2 liter solar untuk operasional, saat ini harus berputar dan menghabiskan 2-3 kali lipat.
“Sama juga pada petambak,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ombudman Republik Indonesia mendesak agar pagar di perairan laut Kronjo Kabupaten Tangerang dicabut. Pemagaran laut sejauh satu kilometer dari bibir pantai itu menghambat aktivitas nelayan dalam mencari nafkah, yang menjadi sumber utama penghidupan mereka.
Desakan itu disampaikan Anggota Ombudsman RI, Yeka Fatika Hendra seusai melakukan kunjungan langsung ke lokasi pada Kamis (5/12). Dalam kunjungan tersebut, Yeka berdialog dengan masyarakat nelayan, petambak, dan petani untuk mendengarkan langsung permasalahan mereka.
Selama peninjauan, Yeka menemukan indikasi pemagaran laut yang berdampak besar pada akses masyarakat pesisir. Pagar bambu berlapis-lapis terlihat membatasi pergerakan kapal nelayan, sementara penimbunan tambak dan aliran sungai memperparah situasi.
“Ini jelas bukan kawasan PSN. Kok ada pemasangan pagar bambu di laut hingga 1 km dari pinggir laut? Ini jelas merugikan nelayan! Saya ragu kalau APH tidak tahu hal ini. Pagar bambu berlapis-lapis ini harus segera dicabut, demi pelayanan terhadap nelayan!” ujar Yeka saat sidak di kawasan Pulau Cangkir. (luthfi)
Diskusi tentang ini post