SATELITNEWS.COM, SERANG—Penolakan terhadap proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di wilayah pesisir pantai Banten Utara masih terus berlanjut. Kali ini, sejumlah mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam koalisi Rakyat Banten Utara Melawan (Karbala) menggelar aksi demonstrasi penolakan di Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang pada Selasa (31/12).
Mahasiswa yang tergabung dalam aksi penolakan itu berasal dari berbagai macam organisasi yang antara lain LMND, PMII, Gabungan Mahasiswa Serang Utara (Gamsut), BEM Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah. Kemudian dari masyarakat, selain penduduk setempat, turut hadir pula Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tanara dalam aksi tersebut.
Sebelum menggelar aksi, massa berkumpul di Terminal Kecamatan Tanara sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah itu barulah kemudian mereka berjalan kaki menuju Jembatan Jenggot dan berkumpul untuk menggelar aksi penolakan di sana. Dalam aksinya, mereka secara tegas menolak kehadiran proyek PIK di wilayah pesisir Banten Utara. Pasalnya, mereka menilai kehadiran proyek properti milik Agung Sedayu Group itu berpotensi banyak menimbulkan masalah, baik bagi masyarakat maupun lingkungan.
Bahkan, kata mereka, masalah yang muncul tidak hanya pada saat proyek tersebut sedang dilaksanakan namun, sejak dalam tahapan prosesnya pun juga berpotensi menimbulkan masalah konflik dengan masyarakat.
“Aksi ini kan bentuk dari respon masyarakat akan ketidak percayaannya terhadap proyek PIK 2,” kata koordinator aksi, Muhajir, Selasa (31/12).
Muhajir mengatakan saat ini, pihak pengembang proyek sudah mulai melakukan perluasan pembebasan lahan di wilayah Serang Utara seperti Kecamatan Tanara, Tirtayasa, dan Kecamatan Pontang. “Karena memang sudah terjadi sekarang pembebasan tanah. PIK 2 inikan banyak yang menggusur tanah-tanah masyarakat, tanah pemerintah,” ujarnya.
Bahkan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, rencana pembangunan kawasan PIK itu tidak hanya sampai di Kecamatan Pontang Kabupaten Serang saja melainkan ke Merak, Kota Cilegon. “Saya sudah mendapatkan informasinya bahwa perluasan PIK itu di sempadan garis (pantai) Banten Utara,” katanya.
“Berartikan kalau Banten Utara tentunya mulai dari Tangerang sampai ke Sawah Luhur, (kemudian) sampai ke Merak sana,” imbuhnya.
Dia khawatir, jika hal itu dibiarkan maka akan berdampak pada hilangnya sumber pendapatan masyarakat setempat yang notabene adalah nelayan dan petani.
“Banyak petani di sini, banyak nelayan kalau misalnya tanahnya ini digusur dan diproyeksikan untuk PIK 2 mereka (masyarakat) mau kemana untuk menghasilkan nafkah anak-istrinya?,” ucapnya.
Oleh sebab itu dia berharap, persoalan yang terjadi di wilayah pesisir Banten Utara saat ini mendapat perhatian dari Presiden supaya rencana pembangunan kawasan PIK bisa dihentikan. “Semoga ada kepekaan dari pemerintah wabil khusus pak Presiden Prabowo untuk menyikapi tentang kegelisahan dari masyarakat sekitar,” harapnya.
Ketua BPD Desa Tanara, Jayadi, mengatakan bahwa upaya proses pembebasan lahan untuk pembangunan proyek PIK 2 di wilayah Kecamatan Tanara sudah mulai dilakukan oleh para calo tanah.
“Sudah ada (proses pembebasan tanah) dari mulai si calo-calo tanah ini mengumpulkan data itu sudah. Walaupun mungkin di Tirtayasa, Pontang, belum ada jual beli secara resmi, tapi sudah ada pengumpulan data-data sertifikat dan lain-lain,” katanya.
Kemudian dia juga menuturkan, berdasarkan informasi dari masyarakat, pihak pengembang kerap menggunakan cara-cara intimidasi dalam melakukan upaya proses pembebasan lahannya. Masyarakat diancam tetap akan diurug lahannya, meskipun mereka tidak menjualnya.
“Contoh intimidasinya begini, kalau tidak dijual tetap diurug. Itukan intimidasi, itu saya tidak suka,” tuturnya.
Lalu harga beli tanah yang ditawarkan oleh pihak calo kepada masyarakat dalam proses pembebasan lahan bisa dibilang sangat lah murah. Jayadi menyebut, harga yang ditawarkan yakni sebesar Rp50 ribu per meter. Itu pun, kata dia, uang yang sampai ke tangan masyarakat tidak sesuai dengan harga yang ditawarkan karena adanya potongan di setiap proses pencairannya.
“Rp50 ribu dari sana dipotong Rp10 ribu katanya buat kegiatan mediator, dipotong lagi buat si calo-calo tanah. Ini sampai paling Rp30 ribu, Rp23 ribu sampai ke warga. Sama aja kita makan bakso dan teh botol,” terangnya.
Selain harga yang rendah, Jayadi pun juga menyoroti proses pembebasannya yang tidak transparan. Dan itu yang dia sangat sayangkan.
“Karena itu biasanya senyap dia juga, tidak bisa terbuka. Itulah masalahnya, jual belinya senyap,” ucapnya. (tqs/rmg/gatot)
Diskusi tentang ini post