Oleh : Yana Karyana*
WACANA soal libur sekolah selama Ramadhan menjadi perbincangan hangat Ketika isu ini digulirkan oleh Menteri Agama (Menag), Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. Isu ini menuai pro dan kontra di kalangan Masyarakat.
Bagi kalangan yang pro mengatakan libur pada masa Ramadhan akan memberikan kesempatan siswa bisa melaksanakan pembelajaran seperti yang ada dalam kurikulum merdeka yakni berbasis proyek sosial sebagaimana dikemukakan oleh pengamat Prof.Afrianto Daud.
Di sisi lainnya, yang menolak akan wacana libur sekolah Ramadhan diberlakukan akan menimbulkan kekhawatiran jika libur selama Ramadan bisa menambah besar dampak ketertinggalan belajar atau learning loss yang tersisa dari Pandemi Covid-19.
Harus Dipertimbangkan Dampaknya
Perdebatan soal wacana libur sekolah selama Ramadhan bukanlah soal baru, program ini telah dilaksanakan pada tahun 1999, yaitu masa pemerintahan Presiden keempat, KH. Abdurrahman Wahid, yang biasa disapa Gus Dur. Pada masa itu, selain meliburkan sekolah selama sebulan penuh, Gus Dur juga mengimbau sekolah-sekolah membuat kegiatan pesantren kilat.
Tujuannya, agar para siswa dapat lebih fokus untuk belajar agama Islam. Selain itu, sekolah juga meminta siswanya untuk melaporkan kegiatan ibadah selama Ramadan, seperti tadarus hingga tarawih.
Menyoal perdebatan soal wacana libur sekolah masa Ramadhan ini, pemerintah agar mempertimbangkan secara matang soal model yang akan ditawarkan. Model yang akan ditawarkan harus mempertimbangkan segala aspek supaya memberikan manfaat yang maksimal bagi anak.
Selain aspek positif terkait hal ini harus juga menjadi pertimbangan pemerintah yaitu dampak negatif yang akan memunculkan masalah sosial jika anak diliburkan selama Ramadan.
Sebagai contoh, banyak kasus tawuran saat sahur tiba dan kekerasan lainnya terjadi di lingkungan masyarakat pada musim libur, kecanduan gadget atau game online.
Selain dampak sosial, akan menyebabkan learning loss atau ketertinggalan pembelajaran. Selain itu, terkait pemantauan dan pengawasan siswa oleh guru dan orangtua akan amat lemah jika sekolah diliburkan. Terlebih bagaimana dengan siswa yang non muslim, apakah tetap diberlakukan.
Selain mempertimbangkan aspek terhadap siswa, harus dipertimbangkan juga dampaknya terhadap para guru, baik menyoal bagaimana proses pembelajarannya. Apalagi menyoal kesejahteraan guru, terlebih guru honorer, notabene dibayarkan ketika pembelajaran berlangsung, jika libur sekolah Ramadhan diberlakukan satu bulan penuh, maka akan berdampak terhadap kesejahteraan guru, apakah pemerintah sanggup untuk menanggung segala resiko terkait kesejahteraan guru, sebuah persoalan serius bukan perkara mudah.
Semua Ini yang harus dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah agar bisa memberikan kemanfaatan bagi siswa, guru, masyarakat dan Pendidikan kita.
Kolaborasi Bukan Soal Gengsi
Wacana liburan saat Ramadhan jangan hanya soal pertimbangan aspek religi an sich, namun dipertimbangkan segala aspek, soal aspek sosial, politik, Pendidikan bahkan kolaborasi antar stakeholder. Aspek pertimbangan terkait harus adanya kolaborasi antar stakeholder, merupakan aspek penting Ketika menjalankan sebuah program.
Selama ini, program pemerintah terkadang hanya menyoal gengsi, jika bukan dibilang ego setiap instansi atau bahkan pejabat, tanpa mempertimbangkan aspek Kerjasama antar pemangku kepentingan untuk suksesi program.
Terlebih menyangkut Pendidikan, harus mempertimbangkan kolaborasi atau Kerjasama dengan semua lini baik pemerintahan maupun Masyarakat.
Tentang program wacana liburan sekolah Ramadhan, pemerintah harus mengajak kolaborasi semua stakeholder, misal mengajak Kerjasama dengan Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, Pesantren, Madrasah Diniyah, Majelis Taklim, Para pemangku agama dan lain.
Mengapa ini harus dilakukan kerjasama, karena memang jika program liburan sekolah hanya menetapkan libur sekolah satu bulan penuh tanpa adanya program kerjasama, adalah sebuah goncangan sosial (culture shock) akan menyeruak.
Pelibatan Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan, ini soal penting pelaksanaan Pendidikan di Daerah, dimana Kementerian Agama memiliki Lembaga Madrasah dan Dinas Pendidikan memiliki Lembaga Sekolah, duduk bareng dalam penyelenggaraan Pendidikan di daerah sebuah keniscayaan, selain pertimbangan ciri khas dan sosio kultural tiap daerah memiliki perbedaan dalam pelaksaan setiap program.
Pelibatan Pesantren, Madrasah Diniyah dan Majelis Taklim serta pemangku agama memiliki nilai lebih jika bukan keharusan, karena jika libur sekolah Ramadhan dengan maksud meningkatkan kualitas keimanan atau aspek religius, akan terasa sia-sia jika tidak dilibatkan.
Kerjasama program Pesantren kilat dengan Pondok Pesantren, jika di daerah itu ada pesantren, jika tidak ada bisa Kerjasama dengan Madrasah Diniyah atau majelis taklim terdekat, bahkan sekolah bisa kerjasama dengan pesantren untuk menyusun kurikulum bersama selama libur sekolah Ramadhan.
Lalu bagaimana dengan siswa non muslim? Ini pun harus segera disikapi agar tidak terkesan pemerintah diskriminatif, tidak hanya mengurus soal umat Islam, namun umat lain pun harus diperhatikan, sebagaimana amanat pasal 29 UUD. (*)
*(Ketua MWC NU Karetaker Cibodas, Kota Tangerang)
Diskusi tentang ini post