SATELITNEWS.COM, TANGERANG—Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soematri Brodjonegoro membuka wacana perguruan tinggi tidak wajibkan akreditasi. Opsi ini dibuka dilatarbelakangi adanya sejumlah perguruan tinggi yang menggunakan peringkat akreditasi untuk mempromosikan kampus dan program studi. Selain itu, praktik seperti itu dia anggap tidak fair bagi kampus/prodi yang belum terakreditasi dengan peringkat akreditasi unggul.
Menanggapi hal ini, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Banten Dr Po Abas Sunarya buka suara. Dia mengatakan, wacana tak wajib akreditasi untuk perguruan tinggi semestinya tidak dilakukan serta merta atau drastis. Akan tetapi harus ada solusi lain yang dipersiapkan.
“Harus disiapkan sistem dulu untuk membentuk klaster-klaster kampus yang sudah unggul untuk diwajibkan membina kampus lain yang ada di bawahnya. Dahulu memang sudah ada seperti itu yang diatur oleh LLDIKTI, tapi pada pelaksanaannya seperti tidak wajib,” ujar Abas saat ditemui Rabu (15/1/2025) di Kampus Universitas Raharja Tangerang.
Abas menambahkan, jika mau jujur untuk saat ini saja meski dilakukan visit atau verifikasi faktual atas akreditasi program studi di perguruan tinggi oleh para asesor yang berkompeten, nyatanya masih ada “permasalahan” yang timbul. “Mungkin kalau perguruan tinggi negeri dengan infrastruktur yang memadai baik sarana dan prasarana hingga dosen, termasuk akademiknya itu (tak wajib akreditas) memungkinkan, tapi buat kampus swasta apalagi yang baru berdiri itu akan kerepotan, susah sekali mereka ini untuk belajar,” ucapnya.
Dikatakan asesor yang melakukan verifikasi datang sejatinya bukan saja sekadar melakukan pemeriksaan, melainkan juga harus bisa memberikan arahan serta mengetahui bagaimana kondisi kampus yang sebenarnya. “Ini belum lagi di masyarakat sudah terbiasa ketika datang ke kampus yang ditanya akreditasinya apa? Nah, untuk memberi pemahaman ini butuh waktu yang tidak sebentar, kalau dibebaskan gitu saya tidak menjamin,” ujarnya.
Apalagi di daerah tidak sama dengan di Jakarta (kondisinya), sebab daerah masih memiliki kekurangan atau keterbatasan,” ujar pria yang tak lain Rektor Universitas Raharja Tangerang ini. Akhirnya bukan tidak mungkin kampus akan berpikir yang penting ada mahasiswa, ada uang dan ada ijazah. “Inilah harus ada yang mengontrol, makanya kalau akreditasi itu sudah tidak wajib lalu nanti seperti apa? Apa mungkin akan dibentuk dulu suatu sistem yang akan bisa juga menggantikan?” terangnya.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa dengan “hilangnya” akreditasi akan turut pula menghilangkan pula motivasi perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas. “Kan yang ditakutkan ujungnya cuma yang penting bahwa proses pembelajan berjalan. Diploma 3 tahun, lalu S1 4 tahun, S2 dua tahun cuma itu saja yang menjadi ukurannya, mungkin aja mereka tidak perlu (mata kuliah) praktik, cukup absen,” jelasnya.
Padahal lanjutnya, proses visitasi asesor akreditasi ke suatu perguruan tinggi bukan sekadar bertanya sarana dan prasarananya, akan tetapi pelaksanaan pembelajaran, kurikulum. “Termasuk mahasiswa dan dosen ditanya bagaimana cara mengajar, kepuasannya terhadap sistem pembelajaran, termasuk para stakeholder yang memang menggunakan lulusan kita. Sebab kita ditanya juga di lapangan bagaimana lulusan kampus ini,” terangnya.
Ukuran-ukuran itu ujarnya menjadi parameter di kampus-kampus daerah, di mana mereka harus menyesuaikan dengan kearifan lokal. “Selain penyesuaian prodi, mereka (asesor) mengarahkan dalam pembelajaran dan pelatihan, maka menurut saya, apa yang sudah betul terus saja dijalankan, karena itu yang baik” ujarnya.
Malah ujarnya sistem akreditasi harusnya diperketat. “Diperketat bukan dalam artian yang tidak mampu kemudian harus dihapus, karena itu jelas memberatkan. Kadang-kadang terus terang saja asesor juga ada kalanya menyamakan standar perguruan tinggi swasta di daerah dengan standar kampus negeri. Padahal sebetulnya kalau mereka bisa menghasilkan sesuatu yang berguna untuk daerah, itu juga sudah baik karena lulusannya bisa terserap,” ujarnya. Ia pun tak menampik bahwa akreditasi menjadi promosi kampus yang memang sudah menjadi ukuran masyarakat untuk memilih kampus. “Jadi jangan dihapuslah,” ucapnya. (made)
Diskusi tentang ini post