SATELITNEWS.COM, TANGERANG—Undang-Undang No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertujuan menghadirkan sistem hukum pidana yang lebih manusiawi. Bukan lagi masanya pidana menjadi sarana balas dendam, tetapi harus memiliki tiga visi utama, yakni keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Untuk itu, paradigma retributif sudah harus ditinggalkan.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Menteri (Wamen) Hukum RI, Edward Omar Sharif Hiariej saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk Paradigma Modern KUHP Baru di Indonesia di Kampus Politeknik Pengayoman, Jalan Satria Sudirman, Kota Tangerang, Kamis (30/1/2025) pagi.
Edward Omar menjelaskan, mengubah paradigma hukum pidana di Indonesia bukanlah hal mudah. Sehingga diperlukan komitmen dan kesadaran dari seluruh elemen masyarakat. Sosialisasi KUHP baru menjadi langkah penting dalam transisi menuju sistem hukum yang lebih modern dan berkeadilan.
Pemerintah juga berharap dengan adanya pemahaman yang lebih baik, implementasi KUHP baru di tahun 2026 dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. “Sekarang ini kalau maju jujur, paradigma kita masih belum berubah. Bukan saja saudara-saudara, tetapi saya pribadi pun kalau melihat di TV atau membaca Koran jika ada pelaku kejahatan kemudian ditangkap pasti yang ada di benak kita agar pelaku minta dihukum seberat-beratnya, apalagi kalau kita adalah korban,” ujarnya.
“Itu sebenarnya paradigma yang kuno, paradigma Hammurabi. Jadi kita menerima paradigma baru itu memang tidak mudah,” terangnya. Terlebih hukum pidana berbeda dengan hukum lainnya, baik hukum perdata, hukum administrasi, hukum tata negara dan lain sebagainya. Sebab hukum pidana hanya melihat hitam atau putih. “Enggak ada tuh orang di pengadilan orang salah sedikit, benar sedikit. Yang ada hanya benar atau salah saja,” ungkapnya.
Pada hukum pidana paradigma modern yang mengutamakan keadilan korektif restoratif, dan rehabilitatif tersebut ujarnya maka akan mengubah secara mendasar dan mempengaruhi berbagai ketentuan, khususnya dalam Buku 1 ((mengatur tentang aturan umum hukum pidana).
“Keadilan korektif itu ditujukan kepada pelaku. Artinya dia (pelaku) berbuat salah, ada yang harus dikoreksi, koreksinya yakni diberi sanksi. Sanksi dalam KUHP baru kita itu jangan dibayangkan harus sanksi pidana, tetapi ada dua, yakni pidana dan tindakan,”terangnya.
Jika keadilan korektif ditujukan kepada pelaku, maka keadilan restoratif sebagai visi yang kedua ditujukan kepada korban. “Dari sisi pengetahuan, keadilan restoratif itu masih tergolong ilmu yang baru, yakni baru diperkenalkan pada tahun 1977 oleh Albert Eglash sebagai kritik terhadap pengadilan konvesional yang mengutamakan sebagai keadilan retributif, menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam. Dia mengemukan istilah restorative justice atau pemulihan keadilan, ini kritik terhadap hukum pidana,” jelasnya.
Restorative justice tidak hanya mengoreksi pelaku, akan tetapi memulihkan korban. Kemudian visi selanjutnya adalah keadilan rehabilitatif merupakan milik pelaku dan korban. Pelaku tidak hanya dikoreksi atau dihukum, tapi juga diperbaiki. Demikian juga dengan korban, tidak hanya dipulihkan, tetapi juga diperbaiki. “Inilah paradigma hukum modern yang tidak lagi pada keadilan retributif, tapi keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif,” ulangnya.
Selain visi, KUHP nasional memiliki misi. Ada pun misinya adalah demokratisasi, yakni KUHP nasional menjamin kebebasan berdemokrasi, berekspresi dan mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan dengan batas-batasan yang ditentukan oleh undang-undang. “Demokratisasi ini kami para pembentuk KUHP merumuskan berbagai pasal merujuk putusan MK ketika sejumlah pasal tersebut diuji di MK,” terangnya.
Lalu misi kedua dari KUHP nasional adalah dekolonisasi. Artinya berusaha untuk mengubah aturan-aturan kolonial menjadi sebuah aturan-aturan selayaknya suatu negara merdeka.
“Waktu KUHP dibuat, dibentuk dan disosialisasikan memang ada yang mengkritik. Katanya KUHP misinya adalah dekolonialisasi, tapi sebagian besar pasal dalam Buku ke-2 (mengatur tentang kejahatan dan ancaman pidananya ) tentang Tindak Pidana itu sama dengan pasal-pasal dalam KUHP lama, buatan Belanda. Lalu saya jelaskan, kalau dekolonisasi itu jangan melihat Buku-2, tapi Buku Pertama. Sebab kalau melihat Buku 2 yang isinya tindak pidana, itu bukan dekolonilisasi, bukan kolonisasi atau rekolonialisasi tapi universalisme hukum pidana,” jelasnya.
Maksud dari universalisme hukum pidana menurutnya adalah jika di Eropa pencurian atau pembunuhan adalah sebuah tindak pidana, maka di Indonesia juga sama. “Jadi isinya pasti berlaku universal. Dekolonisasi pada Buku 1,” ujarnya.
Dalam buku pertama katanya tidak lagi mengutamakan kepastian hukum semata, akan tapi juga mempertimbangkan kemanfaatan dan keadilan. Bahkan dalam salah satu pasal dikatakan bahwa apabila ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka hakim wajib mempertimbangkan keadilan. “Jadi bukan kepastian hukum,” ulasnya. (made)
.
Diskusi tentang ini post