SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan ada tiga hal yang mengganjal pikirannya saat-saat ini. Ketiga hal itu terkait terpidana mati yang tidak kunjung dieksekusi, rendahnya vonis dalam kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat dan pemulangan terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso, ke Filipina.
Saat ini terdapat sekitar 300 putusan hukuman mati yang sudah inkrah. Namun, kebanyakan putusan ini tidak bisa dieksekusi karena terbentur kebutuhan diplomatik negara.
Jaksa Agung mengaku dilema terkait fenomena ini karena jerih payah anak buahnya untuk menuntut hukuman paling berat, tetapi vonis itu justru tidak bisa dilaksanakan. “Saya bilang, capek-capek kita sudah menuntut hukuman mati enggak bisa dilaksanakan. Itu mungkin problematika kita,” ujar ST Burhanuddin saat mencurahkan isi hati (curhat) di Kejati DKI Jakarta, Rabu (5/2/2025).
Beberapa kali jaksa ingin mengeksekusi terpidana mati. Namun, upaya eksekusi mati ini terhenti karena napi yang bersangkutan adalah warga negara asing. Kebanyakan terpidana mati merupakan warga asing dengan kasus narkoba. Di antaranya berasal dari Eropa, Amerika, dan paling banyak Nigeria.
Burhanuddin mengaku sempat bertanya dan mendiskusikan rencana eksekusi mati ini dengan mantan Menlu Retno Marsudi. “Kita pernah beberapa kali bicara waktu itu masih Menteri Luar Negerinya, ibu, ‘Kami masih berusaha untuk menjadi anggota ini, anggota ini, tolong jangan dulu nanti kami akan diserangnya nanti’,” kata Burhanuddin.
Setelah proses diplomasi selesai, Burhanuddin kembali berdiskusi dengan Retno. Namun, Kejagung kembali tidak bisa menjalankan eksekusi mati karena terbentur hubungan dengan negara asing.
“Kayak di China. Saya bilang, China bagaimana kalau kami eksekusi. Kebetulan di sana eksekusi mati masih berjalan. Apa jawabnya Bu Menteri pada waktu itu? ‘Pak kalau orang China dieksekusi di sini, orang kita di sana akan dieksekusinya’,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin juga curhat soal tidak dilibatkannya Kejagung dalam proses pemulangan terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso, ke Filipina. “Mary Jane itu kasusnya masih di kami, perlu dieksekusi. Kami tidak diajak bicara (soal pemulangan),” ujar dia.
Terpidana mati yang belum dieksekusi seperti Mary Jane semestinya merupakan kewenangan Kejagung. Berbeda dengan terpidana yang tidak divonis mati dan hukumannya tidak berkekuatan hukum tetap, yang keweangannya menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum. “Tapi ini katanya hubungan antarnegara. Tapi kalau hubungan antarnegara ini monggo lah,” kata dia.
Seperti diketahui, Mary Jane Veloso dipulangkan ke Filipina pada 17 Desember 2024 lalu. Dia menjalani pemindahan ke negara asalnya di Filipina atas dasar kebijakan diskresi Presiden Prabowo Subianto.
Jaksa Agung juga curhat soal profesi jaksa yang sering kali disalahkan akibat vonis pada kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat. “Jujur beberapa kasus-kasus perkara yang sedikit melukai hati masyarakat, tapi yang disayangkan (disalahkan) adalah ‘oh jaksanya, jaksanya’,” ujar ST Burhanuddin.
Dia mencontohkan dalam kasus korupsi Timah, justru jaksa yang disalahkan oleh masyarakat. Padahal, yang menjatuhkan vonis adalah hakim. “Kalau sekarang apa, kasus Timah, ada beberapa masyarakat ‘wah jaksa, jaksa.” katanya.
Untuk itu, Jaksa Agung meminta agar para jaksa bisa melakukan sosialisasi ke masyarakat, terutama mereka yang ada di daerah. “Tolong teman-teman kalau di daerah sosialisasikan bahwa yang nuntut adalah jaksa, yang memutus adalah hakim,” ujarnya.
Memang, sejumlah terdakwa dalam kasus korupsi tata niaga Timah vonisnya lebih rendah dari tuntutan jaksa. Dalam kasus yang menjerat Harvey Moeis, tuntutan jaksa adalah 12 tahun penjara, uang pengganti Rp 210 miliar subsider enam tahun, dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun. Namun, hakim memvonis Harvey Moeis 6,5 tahun penjara, uang pengganti Rp 210 miliar subsider dua tahun, dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan. Oleh karenanya, jaksa mengajukan banding atas putusan Harvey Moeis tersebut. (bbs/san)