SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengirim surat ke Komisi I dan Komisi III DPR terkait penolakan terhadap pembahasan revisi Undang-Undang TNI dan Polri oleh DPR.
“Isi dari ataupun substansi surat terbuka yang kami ajukan yakni mengenai penolakan pembahasan RUU TNI dan Polri,” ujar Kepala Divisi Hukum KontraS, Andri Yunus, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/3).
Andri Yunus menyebut RUU TNI dan Polri yang bergulir saat ini tidak akan bisa menjawab persoalan kultural di kedua institusi tersebut. “Standing kami jelas menolak adanya proses pembahasan di dua RUU tersebut karena kami menilai substansi yang kemudian dibahas atau diatur lebih lanjut dalam undang-undang revisi itu tidak mampu menjawab persoalan kultural di institusi, baik TNI maupun Polri,” kata dia.
Salah satu isi di RUU Polri yang Kontras persoalkan adalah intel polisi memiliki wewenang yang bertabrakan dengan Badan Intelijen Negara (BIN).Di RUU TNI, Kontras mempersoalkan upaya perluasan jabatan sipil bagi para prajurit aktif.
“Hal ini kami menilai sangat bermasalah dan berpotensi mengembalikan pemerintahan pada rezim Orde Baru (Orba) atau rezim Soeharto selama 32 tahun,” kata dia.
Andri juga memprotes DPR yang tidak kunjung melibatkan masyarakat dalam pembahasan RUU TNI dan Polri ini. Dengan begitu, kata dia, DPR tidak mendengar suara rakyat dalam membahas dua RUU ini.
“Standing kami, sepanjang substansinya kemudian tidak menjawab persoalan reformasi sektor keamanan, namun justru menambah kewenangan, mengurangi kontrol, dan pengawasan terhadap institusi militer, kami meminta untuk dihentikan,” jelas Andri.
“Jadi kami juga tidak mau dilibatkan dan hanya sebagai stempel saja begitu. Perlu ada pembahasan secara substansi yang menurut kami lebih penting seperti yang tadi diungkap,” ujar dia.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Sedangkan RUU Polri tidak masuk daftar tersebut.
“Kami meminta persetujuan rapat paripurna hari ini terhadap RUU tersebut diusulkan masuk pada Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2025, apakah dapat disetujui?” tanya Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir yang memimpin rapat paripurna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).
Adies Kadir mengatakan bahwa pembahasan RUU TNI selanjutnya ditugaskan kepada Komisi I DPR RI selaku alat kelengkapan dewan dengan ruang lingkup tugas mencakup bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen.
Komisi I DPR RI mengundang tiga pakar atau akademisi guna mendengar masukan untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tiga pakar yang diundang tersebut adalah Mayjen TNI Purn. Dr. rer. pol. Rodon Pedrason, M.A. (Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum), Teuku Rezasyah, Ph.D. (Indonesia Centre for Democracy Diplomacy and Defence), dan Dr. Kusnanto Anggoro (Centre for Geopolitics Risk Assessment).
Ronon memberi masukan agar RUU TNI itu juga dimasukkan pasal mengenai evaluasi TNI secara berkala. Menurutnya, banyak prajurit yang memiliki pangkat tinggi namun tidak memberikan manfaat bagi TNI dan negara.
“Di PP 39/2010 pada Pasal 21 ayat 3 bahwa prajurit yang menyelesaikan masa ikatan dinas pertama, kalau perwira itu 10 tahun pertama, kalau bintara/tamtama 7 tahun,” kata Rondo. (rmg/san)