SATELITNEWS.ID, PINANG—Masih ingatkah dengan kasus dugaan tindakan malpraktik operasi katarak yang dilakukan oleh dokter di Rumah Sakit (RS) Mulya, Kecamatan Pinang Kota Tangerang ? RS ini diduga telah melakukan malpraktik kepada 17 pasien katarak. Operasi katarak yang dilakukan gagal hingga menyebabkan kebutaan kepada 17 pasien. Pascaoperasi, mata pasien mengalami infeksi dan terpaksa harus diangkat.
Setelah sempat tak ada kepastian, kasus ini kembali mencuat. Keluarga korban dari Maryam dan Cici beserta puluhan warga dan tim kuasa hukum mendatangi RS Mulya untuk menuntut pertanggungjawaban, Kamis (17/9).
Awalnya kedatangan keluarga korban berjalan kondusif. Mereka diterima pihak RS Mulya untuk melakukan mediasi. Namun, situasi mulai tidak kondusif setelah tim kuasa hukum korban tak diperbolehkan masuk ke ruangan mediasi untuk melakukan pendapingan.
Ketegangan tak terhindarkan. Adu mulut antara warga dan tim kuasa hukum dengan petugas keamanan terjadi di depan pintu masuk. Beruntung ada aparat keamanan yang berada di lokasi. Ketegangan dapat dikendalikan dan tim kuasa hukum akhirnya diperbolehkan masuk.
Undang Tahayudin, anak korban bernama Cici, merasa dipermainkan oleh RS Mulya. Pihak rumah sakit, kata Undang, berjanji untuk bertanggungjawab. Namun hingga saat ini tidak dapat memberikan kepastiannya.
“Mereka secara kekeluargaan tapi hanya menjanjikan lagi. Padahal awal mula sudah memberikan janji 14 hari dari hari Rabu dua minggu lalu. Itu sudah kita tunggu. Kurang sabar bagaimana saya? Kita tunggu belum ada kepastian,” ujar Undang kepada Satelit News, Kamis, (17/9).
Ndang sapaan Tahayudin mengatakan pihaknya menuntut kompensasi. Menurut dia, kompensasi yang ditawarkan oleh RS Mulya sulit diterima akal sehatnya. Diketahui, RS Mulya menawarkan uang ganti rugi dugaan malpraktek ini sebesar Rp 170 juta.
Dia mengungkapkan mediasi yang dilakukan dengan RS Mulya tidak mendapat titik terang. Saat mediasi, Direktur Utama RS mengaku Mulya tidak dapat mengambil keputusan.
“Senin paling lama karena dia Direktur Utama nggak bisa ambil keputusan. Padahal dia yang bertanggung jawab dengan manajemen. Kami belum mendapat ganti rugi,” ungkapnya.
Kasus dugaan malpraktik ini terjadi pada 2019 lalu. Saat itu terdapat 17 pasien operasi katarak di RS Mulya. Awalnya operasi berjalan lancar. Namun 1 hari pasca operasi, pasien mengeluhkan sakit di matanya.
Sakit tersebut semakin menjadi-jadi hingga membuat mata pasien membengkak. Sampai akhirnya, mata pasien terpaksa diangkat lantaran terinfeksi. Kini 17 pasien tersebut mengalami kebutaan permanen.
“Dicoba tes antibiotik dulu. Ternyata pake antibiotik nggak mempan masih jalan terus pembengkakannya. Malah menyerang otak. Kalau menyerang otak, dokter angkat tangan. Jadi untuk mencegah itu bola matanya diangkat,” ungkap Ndang.
Operasi pengangkatan bola mata kata Ndang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) karena di RS Mulya tak memiliki alat yang lengkap.
“Itu pun nunggu 2 minggu setelah pemeriksaan awal,” ujarnya.
Ndang mengatakan dari 17 korban, sebanyak 15 orang telah sepakat dengan nilai kompensasi yang diberikan oleh RS Mulya. Sementara dua lainnya masih menuntut ganti rugi berbeda.
“Kan nggak semua pasien dipukul rata dengan angka nominal yang sama. Mereka juga nggak secara terbuka dan merahasiakan. Gak sama, gak adil,” tegas Ndang.
Koordinator dan juru bicara dari kantor Hukum Indonesia Muda yang mendampingi korban, Hika Transisia AP mengatakan sebenarnya kasus ini telah dilimpahkan ke Polres Metro Tangerang Kota pada Maret 2019. Namun hingga saat ini belum ada titik terangnya.
“Sayangnya dari pihak rumah sakit secara diam diam beberapa dokter berupaya menghubungi 2 orang ini untuk mencabut laporan dan mengimingi sejumlah angka dan melakukan penyelesaian secara kekeluargaan,” ujarnya. (irfan/gatot)
Diskusi tentang ini post