SATELITNEWS.ID, TANGERANG–Pelaksanaan sejumlah proyek perbaikan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Tangerang diduga melanggar aturan main tentang pengadaan barang dan jasa. Tangerang Public Transparency Watch (Truth) mengkategorikan hal tersebut masuk dalam dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Data yang diperoleh Satelit News dari https://lpse.tangerangkota.go.id/eproc4/lelang dengan kata kunci jalan menunjukkan setidaknya ada 6 ruas jalan yang saat ini diperbaiki. 4 diantaranya terdapat di Kecamatan Neglasari yakni Jalan Iskandar Muda, Pembangunan 3, Ir Juanda dan Marsekal Suryadarma. Kemudian, Jalan Bouroq Batuceper dan Imam Bonjol lingkar Palem Semi Cibodas.
Total dana yang dihabiskan Pemkot Tangerang untuk perbaikan Jalan tersebut mencapai Rp 44,4 miliar. Namun, untuk perbaikan ruas jalan Marsekal Suryadarma menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 2 miliar. Sehingga dana yang dikucurkan Pemkot Tangerang yakni Rp 42,4 miliar.
Kendati demikian terdapat kejanggalan dalam proses perbaikan jalan Pembangunan 3 Neglasari senilai Rp 5,9 miliar. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Satelit News, proyek tersebut dikerjakan oleh pemenang tender sebelum adanya penandatanganan surat kontrak dan perintah kerja.
Proyek Jalan Pembangunan 3 dikerjakan PT Ininnawa Presisi Kontruksi selaku pemenang tender pada 27 Februari 2021. Padahal, jika berdasarkan pengumuman yang ditampilkan di laman LPSE, jadwal penandatanganan kontrak kerja baru akan dilaksanakan dalam rentang waktu antara 1-16 Maret 2021. Tangerang Public Transparency Watch (Truth), oganisasi yang dinaungi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan seluruh pengadaan barang dan jasa harus memiliki kontrak terlebih dahulu.
“Jika ditemukan adanya pengerjaan pengadaan barang dan jasa sebelum dokumen lengkap, lantas bagaimana dasar pengerjaannya,” ujar Koordinator Truth, Ahmad Priatna kepada Satelit News, Kamis, (18/3).
Bila merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 16 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa kata dia tentu hal ini bertentangan. Menurut Perpres tersebut tahap awal pengerjaan kontruksi yakni penandatanganan kontrak, kegiatan lapangan bersama, penyerahan lokasi pengerjaan, kemudian penerbitan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK).
“Keseluruhan tahapan tersebut harus diselesaikan dalam waktu 14 hari,” kata Ahmad.
“Artinya apabila pengerjaan proyek terlebih dahulu dilakukan maka cacat secara prosedur dan tidak memiliki dasar pengerjaan pembangunan serta patut diduga ada indikasi pengaturan pemenang tender, terkait lokasi pengerjaan dan besaran anggaran,” tambah Ahmad.
Dalam hal ini terjadi indikasi persekongkolan. Sementara menurut Perpres tersebut persekongkolan tidak dibenarkan maka seharusnya tender gagal. Namun, pada kenyataannya proyek tetap berjalan.
‘Ini ada potensi monopoli, seharusnya penegak hukum turun tangan untuk menyelidiki kasus tersebut. Apabila ada suap di dalamnya maka sanksi suap yang diberlakukan,” tegas Ahmad.
“Harus didalami prosesnya, ini kan cacat secara prosedur, bisa dimungkinkan ada dugaan penyalahgunaan wewenang bahkan korupsi di dalamnya. Makanya harus diselidiki dulu dan dikembangkan kasusnya,” tambah Ahmad.
Ahmad pun meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Negeri segera bertindak. Lantaran nilai proyek di atas Rp 1 Miliar.
“Yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut adalah seluruh panitia yang terlibat dalam proses lelang tender tersebut, baik itu PPK (Penjabat Pembuat Komitmen), Pokja (Kelompok kerja ) pemilihan dan kepala dinas terkait selaku Kuasa Pengguna Anggaran,” jelasnya.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Islam Syehk Yusuf (UNIS) Tangerang, Miftahul Adib menilai hal ini hanya masalah teknis. Dalam laman LPSE memang sudah ditentukan tanggal dimulainya pengerjaan proyeknya. Namun tidak menutup kemungkinan proyek tersebut dapat dipercepat pengerjaannya sebelum adanya tanda tangan kontrak dan SPK.
“Tapi di Perpres (nomor 16 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa) kan jika SPPBJ sudah keluar, PPK diperbolehkan mempercepat waktu kontrak. Karena masa sanggah sudah selesai dan jaminan pekerjaan sudah ada. Nah mungkin Pemkot atau PPK pakai standing legal-nya ini,” kata dia.
Kendati demikian, kata Adib, yang menjadi masalah yakni soal perbedaan pemahaman perspektif soal diperbolehkannya percepatan proyek. Menurut dia, hal seperti itu dapat dijelaskan ke publik sehingga tidak terjadi polemik.
“Ini yang belum bisa diketahui oleh banyak pihak. Makanya saya bilang proses tender dan pembangunan ini seyogyanya memang harus dibuka soal regulasi apa saja yang diperbolehkan dan apa saja pengecualian. Nah kan ini gara-gara karena entah itu LPSE, entah itu pejabat pembuat komitmen yang saya kira kurang memberikan informasi terbuka kepada publik,” tuturnya.
Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tangerang, Sumarti menegaskan pihaknya bakal menindaklanjuti bila mendapati adanya pelanggaran dalam proses pengerjaan proyek tersebut. Seharusnya kata dia proyek dikerjakan dengan merujuk peraturan yang ada.
“Tapi tentunya pasti sudah membaca aturan tersebut tinggal kenapa, seperti apa kita perlu apakah karena kondisinya sudah tidak memungkinkan atau emergency. Itu akan kita gali,” kata dia.
Soal pengawasan, kata politisi fraksi PDIP ini pihaknya terus melakukan secara ketat. Semisal dengan pertemuan dengan intansi terkait untuk mengevaluasi hasil pekerjaannya setiap 3 bulan.
Satelit News belum mendapatkan konfirmasi dari DPUPR Kota Tangerang terkait persoalan ini. Kepala DPUPR Decky Priambodo tak merespon saat dihubungi. Begitu juga dengan Kepala Bidang Bina Marga, Shandy Sulaiman. (irf/gto)
Diskusi tentang ini post