SATELITNEWS.COM, TANGERANG–Penginapan yang berbasis aplikasi seperti Oyo dan Reddoorz semakin menjamur di Kota Tangerang. Kemunculannya pun menimbulkan dilema. Di satu sisi, kehadirannya mampu menyerap tenaga kerja dan memberi kemudahan kepada konsumen namun pada praktiknya rawan disalahgunakan seperti yang terjadi pada kasus prostitusi anak di Hotel Alona, Kreo Selatan, Larangan.
Salah satu warga yang menggunakan aplikasi tersebut, Chairul Fikri mengaku cukup terbantu lantaran bisa memilih kamar sesuai dengan koceknya. Dia mengatakan harga kamar tergantung jenis-jenisnya.
“Ada yang Rp 150 ribu ada yang sejuta tergantung fasilitasnya,” ujarnya kepada Satelit News Selasa, (23/3).
Menurut Chairul, Oyo dan Reddoorz tak sepenuhnya salah dengan maraknya kasus prostitusi yang terjadi di hotel berbasis aplikasi tersebut. “Karena kan cuma aplikasi penyedia kamar. Seperti Bukalapak dan Tokopedia saja. Hanya bedanya Oyo dan Reddoorz menyediakan kamar,” imbuhnya.
Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Tangerang, Dedi Suhada mengatakan status hotel berbasis aplikasi Oyo dan Reddoorz tidak jelas. Selama ini pihak perusahaan aplikasi tidak ada yang memohon perizinan mendirikan bangunan hotel atau penginapan.
“Perizinan tidak ada. Yang jelas dari kita nggak ada ini atau rekomendasi yang menyangkut Oyo. Nggak ada hubungannya sama kita. Oyo juga nggak pernah melakukan perizinan ke pemerintah daerah. Nggak tau izinnya seperti apa dengan pusat,” ujarnya kepada Satelit News, Selasa, (23/4).
Mantan kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang ini juga menyoal tentang retribusi yang diberikan Oyo dan Reddoorz ke Pemerintah Daerah.
“Atau mungkin pajaknya dari pihak hotel. Kan dia menyediakan aplikasi untuk pelayanan penyewaan kamar ke pihak hotel. Atau bagaimana pembagiannya saya juga nggak tau. Karena fungsi kota juga hanya admistrasi bukan teknis,” katanya.
Hotel berbasis aplikasi tersebut dinilai melakukan penyalahgunaan izin pada kasus prostitusi anak di Hotel Alona. Sebab, hotel tersebut hanya memiliki izin mendirikan bangunan untuk rumah kontrakan. Pemiliknya kemudian bekerja sama dengan aplikasi sehingga rumah terlihat seperti hotel.
Kedok ini pun terkuak setelah jajaran Polda Metro Jaya mengerebek bangunan milik artis Cyhintiara Alona itu pada Selasa, (19/3) lalu. Hasilnya, terdapat 15 anak di bawah umur yang dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK).
Dedi menegaskan apabila ada bangunan yang tak sesuai dengan fungsi maka izin dapat dicabut. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 05/PRT/M2016 tentang izin mendirikan bangunan gedung.
“Jadi yang jelas bahwa data izin yang ada di kami itu IMB-nya kontrakan sejak 2013. Terkait dengan mereka yang berfungsi sebagai hotel tentunya dengan aturan yang ada di IMB jelas bisa kami cabut,” katanya.
Ada empat peraturan daerah yang telah dilanggar oleh pengelola hotel tersebut. Yakni Perda nomor 2 tahun 2015 tentang perlindungan anak, Perda nomor 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Kemudian, Perda nomor 17 tahun 2011 tentang perjanjian tertentu dan Perda nomor 8 tahun 2018 tentang Trantib dan Linmas.
Saat ini hotel tersebut sudah disegel oleh petugas Satpol PP Kota Tangerang, Senin, (23/3) lalu. Namun demikian, diakui Dedi pihaknya belum melakukan pencabutan izin. Pasalnya, masih dalam proses penyelidikan polisi.
“Tapi tentunya teknis dari pencabutan nya tidak bisa langsung kan ada tahapannya. Tentu kita menunggu juga proses penyelidikannya,” kata Dedi.
Pencabutan izin yang dilakukan DPMPTSP juga harus melewati tahap penyelidikan baik oleh Polisi ataupun Satpol PP. “Kita harus ada bukti legalnya dulu sebelum mencabut. Hasil penyelidikan dari Pol PP. Dengan dasar kasat mata doang nggak bisa,” katanya.
Perizinan membangun hotel, kata Dedi, harus memenuhi syarat untuk mendapatkan Tanda Daftar Usaha dan Pariwisata (TDUP). TDUP dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui rekomendasi daerah. Pendaftaran tersebut dilakukan secara daring.
Kata Dedi, TDUP yang dimiliki oleh Hotel Alona berasal dari pusat. Namun, pengelola hanya sekali mendaftar di pemerintah pusat. Sehingga, hingga saat ini masih berstatus kontrakan.
Hal senada diungkapkan oleh Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Tangerang, Boyke Urif. Menurutnya Hotel Alona bisa saja kembali beroperasi dengan catatan memenuhi semua persyaratan.
“Berkas semua diupload melalui online,” katanya.
Boyke menjelaskan persyaratan mendirikan hotel melalui beberapa tahap di online single submision (OSS) atau perizinan online terpadu di BPKM pusat. Pengelola pariwisata bisa menggunakan layanan ini untuk mempermudah perizinan.
“Syarat-syarat berdirinya hotel dapat melalui OSS dan hal tersebut harus memenuhi berkas administrasi seperti IMB, izin lingkungan dan akte pendirian jika berbadan hukum,” ujarnya.
Setidaknya ada 14 persyaratan dokumen yang harus dipenuhi pengelola. Diantaranya, scan KTP pemohon, pernyataan pertanggungjawaban kontruksi, Nomor Izin Bangunan (NIB) dan bukti pelunasan PSS tahun berjalan. Lalu, scan IPPT dan pengesahan tapak, bukti lingkungan hidup yakni AMDAL atau UKL/UPL dan surat keterangan sosialisasi beserta lampirannya. Kemudian, scan rencana site plan, bukti status kepemilikan tanah, NPWP perusahaan dan pemohon, akta pendirian perusahaan dokumen AMDALALIN dan bukti pengesahan struktur yang disahkan oleh ahli bersertifikat sesuai.
“Baik hotel maupun usaha lain kategori pariwisata kalau memenuhi syarat didorong ke dinas teknis yang terjun untuk meninjau lokasi,” ujarnya.
Khusus untuk Oyo dan Reddoorz kata Boyke hanya sebagai aplikasi penyedia kamar hotel saja. Sehingga, pengelola hotel berbasis aplikasi tersebut saja yang mengurus semua perizinan mendirikannya. Tak jelas jumlah penginapan yang bekerja sama dengan aplikasi tersebut.
“Jika dilihat secara teknis, banyak pengelola hotel yang tidak memenuhi syarat izin lingkungan. Kebanyakan rumah tinggal yang dijadikan usaha hotel. Seperti kejadian hotel Alona tidak punya izin dari kita Disporbudpar, juga dari IMB peruntukannya tidak sesuai,” katanya.
Selain Polda Metro Jaya, Satpol PP Kota juga sempat menggerebek hotel berbasis aplikasi Oyo dan Reddoorz yang dijadikan sarang prostitusi pada Senin, (5/10/2020) lalu di kawasan Parung Serab, Ciledug. Saat operasi, petugas menjaring 7 Pekerja Seks Komersial.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tangerang, Gatot Wibowo seharusnya pemerintah daerah harus tegas dalam menindak persoalan ini. “Yang pasti kalau ada bangunan yang tidak sesuai, pemerintah kota harus tegas apalagi sampai dijadikan pelacuran,” kata Gatot.
Kata dia, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang juga dapat mengikuti perkembangan zaman. Lantaran bisnis pemuas nafsu ini marak di online.
“Pemkot baiknya punya tim yang mengawasi itu. Berkoordinasi dengan kepolisian. Intinya Pemkot punya kewenangan terkait keamanan dan ketertiban lingkungan,” kata Gatot.
Apalagi, kata politisi fraksi PDIP ini Pemkot Tangerang tidak mendapat kontribusi dari aplikasi tersebut. Terlebih pula, kerja sama antara pengelola dengan aplikasi tidak jelas. Pasalnya, aplikasi tidak mengetahui kejelasan penginapan.
“Kalau ngga ada manfaat ditertibkan, intinya kan saya minta Pemkot tegas dalam hal ini terlebih kalau tidak ada retribusi lebih tegas lagi pemerintah. Intinya terus galakkan penertiban terkait bangunan yang tak sesuai peruntukan langkah tegas harus dilakukan agar pelaku usaha tertib aturan,” pungkasnya. (mg1/irfan/gatot)
Diskusi tentang ini post