SATELITNEWS.ID, SERPONG–Warga Cilenggang yang terdampak proyek tol Serpong-Balaraja (Serbaraja) menggelar aksi protes di area proyek di kawasan Serpong-Balaraja, Senin (12/4/2021). Mereka protes karena uang ganti rugi rumah dan tanahnya yang tergusur dinilai tidak sesuai dengan lokasinya yang strategis.
“Kami menuntut harga ganti kerugian yang layak dan menyejahterakan. Kenapa? Karena lokasi kami sangat strategis,” ujar Masfur Sigit, Koordinator Masyarakat Cilenggang yang terdampak proyek tol Serbaraja, Senin (12/4/2021).
Masfur menjelaskan, aksi ini sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi terkait dengan rendahnya biaya ganti rugi rumah dan tanah yang tergusur proyek tersebut. Dari nilai ganti rugi yang diterima itu tidak semua masyarakat setuju dan langsung menerima. Adapun besaran ganti rugi berkisar antara Rp 4 juta-Rp 7 Juta per meter persegi.
Dari total 130 bangunan terdampak proyek Tol Serpong-Balaraja, terdapat pemilik 26 bangunan di antaranya yang masih bertahan dan menuntut peningkatan harga ganti rugi rumah dan tanah.
“Sebetulnya semuanya enggak sesuai harganya. Ada 130 objek, cuma dalam perjalanannya karena butuh uang dan sebagainya, banyak yang terpaksa menerima,” kata Masfur.
“Sehingga yang bertahan itu tinggal 26 bidang, itu yang kami perjuangkan,” sambungnya.
Masfur pun berharap tuntutan kenaikan harga ganti rugi yang disampaikan warga bisa ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan pihak pengembang.
“Sebetulnya masyarakat ini tidak ada yang anti pembangunan. Di sini semuanya mendukung pembangunan, mendukung proyek pembangunan, tapi masak iya kami hanya dihargai Rp 4 juta per meter persegi, paling tinggi 7 juta,” pungkasnya.
Salah satu warga terdampak tol Serbaraja adalah Wagino (54). Dia masih tak menyangka rumah tinggal pertama yang dia bangun di kawasan Cilenggang, Kecamatan Serpong itu digusur, imbas pembebasan lahan pembangunan jalan tol Serpong-Balaraja. Dia pun kecewa karena uang ganti rugi yang diterimanya tak cukup untuk membeli rumah di kawasan itu.
Tepatnya 25 Februari 2021 lalu, rumah seluas 75 meter yang ditinggali Wagino bersama istri dan dua orang anaknya sejak tahun 1999 itu dibongkar sejumlah alat berat yang mendapat pengawalan ketat petugas Kepolisian, Satpol PP dan TNI. Wagino sama sekali tidak menolak penggusuran ini, asal lahannya dihargai pantas.
“Bukan menolak pembangunan yang dilakukan pemerintah, tapi kami menuntut penilaian harga atas lahan kami yang pantas. Apalagi kami juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,” ucap Wagino ditemui di depan bekas rumahnya di RW.07 Kampung Cilenggang 2, Kecamatan Serpong.
Akibat penggusuran itu, dia bersama dua orang anak dan istrinya terpaksa mengontrak dua kamar, tak jauh dari rumahnya yang telah dihancurkan. Pria yang bekerja di perusahaan produksi beton di kawasan industri Taman Tekno, BSD itu mengaku sangat kecewa dengan tim dari Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) yang menilai harga tanahnya jauh di bawah harga pasaran.
“Saya ambil di sini dulu itu karena dekat tempat kerja. Sekarang dengan nilai ganti rugi Rp 4 juta sekian per meter itu saya engga akan bisa dapat rumah lagi di wilayah Tangsel,” sesal dia.
Apalagi saat ini kondisi ekonomi dari hasil upah pekerjaannya tidak seperti sebelum pandemi. Separuh gajinya saat ini habis untuk membayar sewa dua kamar kontrakan yang ditinggali bersama anak dan istrinya.
“Sekarang separuh gaji saya buat bayar kontrakan. Sejak pandemi sudah tidak ada lagi lembur. Kenyataan saya juga enggak punya rumah,” jelasnya. (jarkasih)
Diskusi tentang ini post