SATELITNEWS.ID, JAKARTA—Pemerintah meminta pengusaha membayar tunjangan hari raya (THR) Idul Fitri secara penuh. Perusahaan diwajibkan menunaikan pembayaran THI tujuh hari sebelum lebaran. Kewajiban itu tertuang dalam surat edaran Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi pekerja/buruh di perusahaan.
“Pemberian THR Keagamaan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengusaha kepada pekerja atau buruh. Pemberian THR Keagamaan bagi pekerja merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja atauburuh dan keluarganya dalam merayakan hari raya keagamaan,” kata Menaker Ida dalam keterangan resminya, Senin (12/4).
Menaker menyatakan SE pelaksanaan THR berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Menaker Ida meminta perusahaan agar waktu pembayaran THR Keagamaan dilakukan paling lama 7 hari sebelum hari raya keagamaan.
“Saya tekankan bahwa THR Keagamaan wajib dibayarkan paling lama 7 hari sebelum hari raya keagamaan pekerja/buruh yang bersangkutan,” jelas Menaker Ida.
Adapun dalam pelaksanannya, pembayaran THR Keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih. THR Keagamaan juga diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Terkait jumlah besaran, bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, THR diberikan dengan ketentuan sebesar 1 bulan upah. Sementara bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, THR diberikan secara proporsional sesuai dengan perhitungan masa kerja dibagi 12 bulan kemudian dikali 1 bulan upah.
Adapun bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima selama 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan. Sedangkan bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja kurang dari 12 bulan, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.
Selanjutnya, dalam SE juga dijelaskan bagi perusahaan yang masih terdampak pandemi Covid-19 dan berakibat tidak mampu memberikan THR Keagamaan tahun 2021 sesuai waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, Menaker Ida meminta Gubernur dan Bupati/Wali kota agar memberikan solusi dengan mewajibkan pengusaha melakukan dialog dengan pekerja/buruh untuk mencapai kesepakatan yang dilaksanakan secara kekeluargaan dan dengan itikad baik.
“Kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis dan memuat waktu pembayaran THR Keagamaan dengan syarat paling lambat dibayar sampai sebelum Hari Raya Keagamaan tahun 2021 pekerja/buruh yang bersangkutan,” kata Menaker Ida.
Menaker Ida mengatakan, kesepakatan mengenai waktu pembayaran THR keagamaan tersebut harus dipastikan tidak sampai menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR keagamaan tahun 2021 kepada pekerja/buruh dengan besaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Perusahaan yang melakukan kesepakatan dengan pekerja atau buruh agar melaporkan hasil kesepakatan kepada dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Ketenagakerjaan setempat,” katanya.
Menaker juga meminta kepada perusahaan agar dapat membuktikan ketidakmampuan untuk membayar THR Keagamaan tahun 2021 sesuai waktu yang ditentukan berdasarkan laporan keuangan internal perusahaan secara transparan. Sementara itu, dalam rangka mengantisipasi timbulnya keluhan dalam pelaksanaan pembayaran THR Keagamaan tahun 2021 dan pelaksanaan koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah, Menaker meminta Gubernur beserta Bupati/Wali kota untuk menegakkan hukum sesuai kewenangannya terhadap pelanggaran pemberian THR Keagamaan tahun 2021.
Ia juga meminta Gubernur dan Bupati/Wali kota untuk membentuk Pos Komando Pelaksanaan Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 (Posko THR) dengan tetap memperhatikan prosedur/protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19.
“Kami juga meminta Gubernur dan Bupati/Wali kota agar melaporkan data pelaksanaan THR Keagamaan tahun 2021 di perusahaan dan tindak lanjut yang telah dilakukan kepada Kementerian Ketenagakerjaan,” ucapnya.
Namun demikian, terbitnya SE tersebut mendapat kritikan dari serikat pekerja. DPC Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Tangerang menilai SE tersebut merangsang perusahaan untuk membayar THR tak sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara serikat pekerja dengan perusahaan.
“Terkait THR di dalam PKB sudah diatur baik besarnya maupun cara pembayarannya,” ujar Wakil Ketua DPC SPSI Kota Tangerang, Hardiansyah kepada Satelit News, Senin (12/4).
Dia mengatakan dalam SE itu disebutkan THR yang harus dibayarkan yakni 1 kali gaji dengan rentang waktu bekerja 12 bulan. Namun, bila dibandingkan dengan SKB kata Hardiansyah jumlahnya lebih tinggi. Jumlahnya bervariasi mulai dari 1 hingga 2 setengah bulan gaji.
“Memang menguatkan para buruh untuk mendapatkan haknya, yang tidak berserikat dia akan diuntungkan di sini. Tapi yang berserikat hampir seluruh perusahaan sudah punya perjanjian kerja bersama (PKB). Ini seakan-akan menganulir PKB yang sudah dibuat di perusahaan masing-masing. Ini rancu lagi,” jelasnya.
“Makanya saya tekankan kepada anggota rundingkan saja dengan perusahaan sebisa mungkin yang dijalankan adalah PKB,” tambah Hardiansyah.
Ketua Apindo Banten Edy Mursalim mengatakan siap membayar penuh THR bagi para pekerja. Kendati demikian, mereka meminta ada pembicaraan lagi terkait perusahaan yang tak mampu membayar THR.
“Kalau perusahaan yang nggak terdampak nggak masalah. Bayar sesuai dengan aturan pemerintah. Tapi yang terdampak ini kan di persimpangan. Kalau dia bayar THR, modalnya nanti nggak ada nanti,”ujarnya.
Sehingga, Edy meminta keringanan agar perusahaan yang terdampak Covid-19 dapat membayarkan THR dengan dicicil. Namun, usul tersebut sebaiknya kata dia harus melalui kesepakatan bersama atau Bipartit.
“Sehingga diambil jalan keluar bisa dicicil kan gitu. Tapi kalau nggak ngasih THR salah. Tetap kasih THR asalkan mereka Bipartit bicarakan dengan serikatnya,” kata dia. (irfan/gatot)
Diskusi tentang ini post