SATELITNEWS.ID, JAKARTA—Kementerian Kesehatan menegaskan polemik Vaksin Nusantara saat ini masih dalam ranah penelitian. Sehingga peneliti diminta untuk mengikuti kaidah ilmiah. Kemenkes juga menegaskan bahwa Vaksin Nusantara tidak dibiayai dengan kocek pemerintah (APBN).
“Ini masih dalam ranah penelitian ya. Jadi tentunya mengikuti kaidah-kadiah ilmiah ya tuk menjaga keamanan dan mutu vaksin,” tegas Juru Bicara Vaksinasi dari Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi kepada JawaPos.com, Kamis (15/4).
Nadia menyebut sejauh ini Kemenkes bersama Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI) hanya ikut memantau sebagai bahan pertimbangan penggunaan vaksin berbasis sel dendritik di Indonesia. “Tidak membiayai penelitian ya, kami hanya pada hal-hal masukan teknis pelaksanaan ke depan,” kata Nadia.
Lalu ketika ditanya mengapa ada perbedaan jawaban di mana Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes menyebut adanya biaya APBN, Nadia membantah hal itu. Nadia hanya menyebut soal biaya koordinasi. Namun belum menjelaskan secara gamblang apa maksud biaya tersebut.
“Mungkin maksudnya seperti saya sampaikan, kami ada pembiayaaan untuk koordinasi. Selain RS Karyadi sebagai site yang juga termasuk UPT (Unit Pelayanan Teknis) Kementerian Kesehatan,” jelasnya.
Pasalnya, menurut Nadia, Vaksin Nusantara masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Campur tangan dalam prosesnya lebih banyak dilakukan oleh Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) dibanding kementeriannya Nadia menambahkan sumber pembiayaan juga akan lebih banyak disokong perusahaan yang turut andil dalam kerja sama pengembangan vaksin nusantara, yakni PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) dan AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat.
Dalam laman resmi AIVITA Biomedical disebutkan AIVITA Biomedical, Inc., adalah sebuah perusahaan bioteknologi swasta yang mengembangkan vaksin yang dipersonalisasi untuk pengobatan kanker dan pencegahan Covid-19. Perusahaan ini mengumumkan penyelesaian studi klinis tahap 1 di Indonesia mengenai kandidat vaksin yang dipersonalisasi, AV-COVID-19, untuk virus Korona baru (SARS-CoV-2).
Studi tahap 1 yang diikuti 27 peserta mengklaim pengobatan dapat ditoleransi dengan baik, tanpa efek samping yang serius, dan bahwa individu yang diobati menghasilkan antibodi. Program klinis dilakukan oleh PT AIVITA Biomedika Indonesia, sebuah perusahaan patungan yang didirikan antara AIVITA. Bahkan AIVITA mengaku sebagai mitra dengan dukungan dari pemerintah Indonesia. AIVITA mengaku sedang berdiskusi dengan otoritas regulasi untuk studi fase 2 di Indonesia, serta investigasi klinis AV-COVID-19 di Amerika Serikat pada awal 2021.
“Kami terus melihat kebutuhan global yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk vaksin pencegahan yang dapat dengan cepat diskalakan dan diadaptasi untuk memberikan perlindungan terhadap semua varian virus Covid-19,” kata kepala eksekutif AIVITA Hans Keirstead, Ph.D.
“Vaksin pribadi kami dapat dibuat secara lokal untuk mendukung stimulasi ekonomi regional, menggunakan kit yang dapat diproduksi dengan cepat dalam skala besar. Selain itu, bahan kami dapat diadaptasi untuk segera membuat vaksin baru melawan mutasi virus. Dengan model yang tidak terpusat ini, kami dapat melakukan studi di Indonesia sambil menuju uji klinis di Amerika Serikat awal tahun ini, dan bersiap untuk distribusi di seluruh dunia,” katanya.
Meski pihak perusahaan mengklaim vaksin itu aman dan menunjukkan hasil yang baik pada fase I, namun BPOM membeberkan hasil yang berbeda. Menurut laporan BPOM data study klinis fase 1, sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan meskipun dalam grade 1 dan 2. Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.
“Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal,” kata pernyataan resmi Kepala BPOM Penny K Lukito.
Lalu terdapat Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 pada 6 subjek dengan rincian yaitu 1subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol. Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik, namun berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh tim peneliti terkait kejadian tersebut.
Terdapat 3 dari 28 subjek (10,71 persen) yang mengalami peningkatan titer antibodi >4x setelah 4 minggu penyuntikan. Namun, 8 dari 28 subjek (28,57 persen) mengalami penurunan titer antibodi setelah 4 minggu penyuntikan dibandingkan sebelum penyuntikan. (jpg/gatot)
Diskusi tentang ini post