SATELITNEWS.ID, TANGERANG—Proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PTLSa) di Kota Tangerang terkendala sejumlah permasalahan. Yakni, belum ditandatanganinya perjanjian kerja sama antara Pemkot Tangerang dengan perusahaan pemenang tender karena perbedaan pendapat mengenai penyerahan detail engineering design (DED). Serta, belum adanya peraturan daerah terkait biaya pengolahan sampah atau tipping fee.
Wali Kota Tangerang, Arief R. Wismansyah mengatakan Pemkot Tangerang hanya menjalankan instruksi yang diberikan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait penandatanganan kerja sama dengan pemenang tender, PT Oligo Infrastruktur Indonesia (OII). BPKP meminta agar Pemkot Tangerang meminta DED PLTSa kepada PT OII sebelum melakukan tanda tangan kontrak.
“Bukan Pemkot yang ingin DED. BPKP yang nyaranin. Kalau kami bukan dalam kapasitas berpendapat. Pemerintah Kota Tangerang hanya menindaklanjuti arahan dari kementerian dan lembaga. Jadi BPKP memberikan arahan yang akhirnya tidak boleh berkontrak atas dasar asumsi. Jadi itu yang kita laksanakan,”ungkap Arief kepada Satelit News, Kamis, (15/4) di Pusat Pemerintahan Kota Tangerang
Permintaan PT OII terkait tanda tangan tersebut merupakan buntut perubahan Peraturan Wali Kota (Perwal) nomor 74 Tahun 2018 tentang Penugasan Kepada Perseroan Terbatas Tangerang Nusantara Global Dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Yang kemudian menjadi Peraturan Wali Kota Nomor 88 Tahun 2020. Sehingga, secara efektif mengembalikan Pemerintah Kota Tangerang sebagai Penanggung Jawab Perjanjian Kerjasama (PJPK) untuk menandatangani Perjanjian Kerjasama dengan PT OII bukan lagi PT TNG. Menurut Arief, permintaan BPKP juga mengacu pada undang-undang terkait.
“Kira-kira BPKP mengacu pada apa? Undang-undang juga kan? Ya sudah,” tegas Arief.
Arief menjelaskan Pemerintah Kota Tangerang, lelalui PT TNG, telah membahas mengenai tipping fee. Menurut Arief, Tipping Fee merupakan biaya yang harus dibayarkan Pemerintah untuk pengembangan PLTSA. Biaya yang timbul tersebut kemudian kata Arief harus masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Tipping Fee sudah dibahas sama PT TNG dan Investor. Dan sekarang kita kan terus didampingi sama KPK. KPK bahas sama Kemendagri cuman artinya harus di-perda-kan. Biaya yang timbul dalam pengelolaan sampah itu harus di APBD-kan. Maka itu harus di Perda-kan,” ujar Arief.
Terkait pembiayaan tersebut kata Arief saat ini masih dalam pembahasan sejumlah instansi terkait yang terlibat dalam pengembangan PLTSA. Seperti Pemerintah melalui Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Masalah biayanya ini kan masih pembahasan kontrak dan masih difasilitasi sama KPPIP, Menko Marves, Kemendagri, sama KPK, BPKP semua,” jelasnya.
Terkait pembahasan lanjutan, Wali Kota dua periode ini belum mengetahuinya. Menurut dia pengembangan PLTSA merupakan program yang diusung langsung oleh Pemerintah Pusat. Kebetulan, Kota Tangerang dipercaya untuk menjadi lokasi pengembangan PLTSa dari 12 daerah lainnya.
“Belum tahu (pembahasan lanjutan). Nanti itu kan sudah dibahas di tataran Pemerintah pusat. Jadi kita hanya melaksanakan,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi 4 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tangerang, Sumarti mengatakan dengan adanya Perda Tipping Fee proses penganggaran PLTSa akan diatur. Sehingga, alirannya jelas. Diketahui, nilai kontrak pengembangan PTLSa di Kota Tangerang mencapai Rp 2,5 Triliun.
“Itu memang sudah aturan salah satunya. Ya untuk teknisnya kan memang nanti ya jelas lah anggaran segala macem kan diatur disitu,” katanya. (irfan/gatot)
Diskusi tentang ini post