SATELITNEWS.ID, TANGERANG–Sidang kasus dugaan mafia tanah seluas 45 hektare di Kelurahan Kunciran Jaya dan Cipete Kecamatan Pinang, Kota Tangerang kembali dilanjutkan. Sidang yang berlangsung secara tatap muka di Pengadilan Negeri Tangerang Klas 1 A dan virtual ini beragendakan mendengarkan keterangan saksi, Senin (02/08/2021).
Sidang yang dipimpin hakim ketua Nelson Panjaitan ini dihadiri oleh belasan warga yang menjadi korban dugaan pencaplokan tanah. Kemudian kuasa hukum terdakwa. Sedangkan terdakwa Darmawan (48) dan Mustafa Camal Pasha (61) menghadiri secara virtual.
Dalam sidang ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang menghadirkan dua saksi yakni Franky dari PT Tangerang Marta Real Estate (TMRE). Kemudian, warga Kelurahan Cipete, Kecamatan Pinang yang menjadi korban pencaplokan lahan sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren An- Nuqthah, Zuhri Fauzi. Sebelum menjalani sidang kedua saksi disumpah di atas kitab suci masing-masing.
Zuhri mengaku sempat bertemu dengan Darmawan di rumahnya pada medio Agustus 2020 lalu. “Pernah ke rumah saya satu kali dengan Darmawan. Yang hadir ke tempat saya tiga orang,” ungkapnya.
Kedatangan Darmawan kata Zuhri pada saat itu adalah untuk memberi tahu soal pembebasan lahan yang akan dilakukan Darmawan. Pada percakapan itu, kata Zuhri, Darmawan mengatakan ingin membebaskan lahan seluas 45 hektare di sekitar lokasi tersebut.
“Kebetulan di belakang kecamatan (Pinang) saya ada lahan. Kemudian lahan saya digusur, sama mobil itu saya nggak tau, terakhir katanya Darmawan yang punya lahan itu. Kemudian mereka mau beli lahan saya. Saya bilang saya nggak pernah jual lahan, dia mau beli. Intinya dia minta restu dari saya,” kata Zuhri dalam sidang.
Zuhri mengungkapkan kalau ponpes pimpinannya berada di atas lahan yang diklaim oleh Darmawan. Dia pun heran, lahan ponpes seluas 3 hektare tersebut selama ini tidak pernah diperjualbelikan kemudian sudah turun-temurun disertai sertipikat asli. “Kalau saya iya kan ponpes yang saya pimpin, kemudian kakek bapak saya itu dulu numpang di sana, makanya saya bilang, berati ponpes numpang ? Padahal itu tanah punya saya,” kata Zuhri.
“Kalimat itu saya nggak terima. Berati saya menyetujui kalau Darmawan itu yang punya lahan. Padahal itu lahan pesantren atas nama saya, istri saya, buyut saya dan ayah saya,” tambah Zuhri.
Saat itu Darmawan pun mengiming-imingi Zuhri dengan lahan untuk pembangunan perluasan ponpes bila merestui pembebasan lahan 45 hektare itu. Namun, karena banyak kejanggalan Zuhri pun menolaknya. “Dia (Darmawan) janji tanah yang dipakai oleh pesantren tidak akan kita gusur tapi akan ditambahkan lagi. Saya pikir itu lahan siapa. Maka saya tolak,” katanya.
Zuhri sempat bersitegang dengan hakim ketua yang terus mencecar banyak pertanyaan. Terutama soal memperlihatkan sertipikat hak milik (SHM) yang dimiliki oleh Zuhri serta peta lokasinya. Namun, tak berlangsung lama sidang pun kembali normal.
Saksi Franky mengaku mengenal Darmawan namun tidak ada hubungan khusus. Dia menjelaskan upaya Darmawan dalam menguasai lahan tersebut sudah terjadi sejak 2017 lalu. Upaya tersebut dilakukan tiga kali dengan tiga dokumen yang berbeda.
“Pada saat sekitar tujuh atau enam tahun lalu, tiba-tiba datang Darmawan mengklaim tanah dibeli dari masyarakat, kemudian kelompok,” ungkap Franky. “Drmawan ini datang dengan rombongannya menyatakan dan ingin menguasai bidang yang kami punya. Dia perlihatkan girik, tahun 2017,” tambah Franky.
Franky pun terkejut dan menyelidiki girik yang digunakan sebagai bukti kepemilikan tersebut. Tenyata saat dicek girik itu tidak terdaftar di Kelurahan baik di Kelurahan Cipete, Kunciran dan Kecamatan Pinang. “Nomor girik tidak terdaftar di kelurahan. Itu keterangan dari camat dan lurah itu emang tidak tercatat,” beber Franky.
Setelah gagal kata Franky, Darmawan kembali mencoba menguasai lahan dengan modal SK Residence Banten pada 2018. Namun, lagi-lagi SK tersebut tidak dapat dibuktikan keasliannya. “Saya pertanyakan ke kecamatan bahwa tidak ada keterangan apapun. Saya temukan dokumen lama yang menyatakan SK itu dibatalkan. Ada di keterangan itu, sudah dicabut,” paparnya.
Puncaknya pun terjadi pada 2020, Darmawan menggunakan sertifikat Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) 1 sampai 9 yang masing-masing seluas 5 hektare. Itu pun juga tidak dapat dibuktikan keasliannya.
“Girik sesuai dengan keterangan camat dan lurah tidak tercatat artinya palsu, lalu SK Residen Banten di dalam keterangan sudah dicabut. Intinya dia sudah tiga kali mencoba menguasai lahan dengan tiga dokumen yang beda,” ungkap Franky. Sidang pun usai dan akan dilaksanakan kembali pada Rabu, (04/08/2021) mendatang dengan agenda menghadirkan saksi dari pihak terdakwa. (irfan/made)