SATELITNEWS.ID, SERANG—Seluruh anggaran dana hibah yang diberikan kepada 3.122 Pondok Pesantren (Ponpes) dan Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) pada tahun 2018 dengan total Rp66.280.000.000 dinilai sebagai kerugian negara. Sebab, hibah yang disalurkan melalui FSPP tersebut dianggap tidak sesuai dengan aturan, karena FSPP disebut bukan penerima yang berhak.
Hal tersebut terungkap dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi dana hibah Ponpes tahun anggaran 2018 dan 2020. Dalam pembacaan dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyampaikan bahwa dalam perkara dugaan korupsi tersebut, negara telah dirugikan sebesar Rp70.792.036.300.
Untuk anggaran 2018, JPU menyampaikan bahwa munculnya anggaran hibah tersebut bermula dari adanya pengajuan proposal dari FSPP Provinsi Banten kepada Gubernur melalui Kepala Biro Kesra yang saat itu dijabat oleh Irvan Santoso, sebesar Rp27 miliar.
“Terdakwa Irvan Santoso hanya menyetujui untuk direkomendasikan kepada TAPD Provinsi Banten sebesar Rp6.608.000.000, sesuai Nota Dinas Kepala Biro Kesra Nomor: 978/718-kesra/VII/2017 tanggal 27 Juli 2017,” ujar JPU Yusuf, Rabu (8/9).
Lantaran nilai dana hibah yang direkomendasikan oleh Irvan Santoso terlampai kecil dibandingkan dengan nilai yang diajukan, FSPP pun melakukan audiensi dengan Gubernur Banten dan menyampaikan terkait dengan hal tersebut.
“Terdakwa Irvan Santoso yang mengetahui adanya audiensi antara FSPP dengan Gubernur, kemudian menghadap kepada Gubernur dan menerima arahan untuk memenuhi permohonan FSPP dalam menyalurkan bantuan hibah uang kepada Pondok Pesantren tahun 2018,” terangnya.
FSPP pun kembali mengajukan proposal bantuan dana hibah. Namun berbeda dengan pengajuan sebelumnya, FSPP memasukkan nominal bantuan tersebut menjadi sebesar Rp71.740.000.000 dengan rincian untuk program pemberdayaan Ponpes dan operasional kegiatan FSPP tahun 2018.
Atas proposal tersebut, Irvan pun memberikan rekomendasi besaran bantuan hibah sebesar Rp68.160.000.000 dengan FSPP sebagai calon penerima. Namun berdasarkan hasil evaluasi dari terdakwa Toton Suriawinata yang merupakan Ketua Tim Evaluasi, nominal hibah tersebut disesuaikan menjadi Rp66.280.000.000.
JPU menilai bahwa pemberian hibah kepada FSPP tersebut tidak sesuai dengan peruntukkannya. Sebab, FSPP disebut bukan merupakan penerima hibah yang berhak karena bukan Pondok Pesantren.
“FSPP Provinsi Banten adalah organisasi kemasyarakatan dan bukan pondok pesantren sebagai lembaga yang berhak menerima bantuan dana hibah uang pondok pesantren dari APBD Provinsi Banten tahun Anggaran 2018,” jelasnya.
Selanjutnya, setelah rekomendasi besaran bantuan hibah tersebut disetujui, terdakwa Toton pun melakukan evaluasi usulan pencairan hibah dengan tanpa melakukan penelitian secara cermat, kemudian memberikan persetujuan terhadap usulan tersebut.
“Adapun dana hibah yang masuk pada rekening FSPP tersebut digunakan untuk dana operasional kegiatan FSPP sebesar Rp3.840.000.000 dan program pemberdayaan pondok pesantren se-Provinsi Banten kepada 3.122 pondok pesantren, masing-masing menerima sebesar Rp20 juta melalui transfer dan secara tunai yang seluruhnya berjumlah Rp62.440.000.000,” terangnya.
Tak sampai di situ, JPU pun menilai bahwa penggunaan anggaran tersebut dalam pelaksanaannya tidak sesuai peruntukkan dan tidak ada bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai peraturan perundang-undangan. Begitu pula dengan bantuan untuk Ponpes yang disalurkan oleh FSPP, disebut tidak ada bukti laporan pertanggungjawaban yang lengkap dan sah.
Dari keseluruhan anggaran hibah yang digelontorkan pada 2018, terdapat pengurangan lantaran FSPP mengembalikan kelebihan anggaran sebesar Rp883.963.700 ke rekening kas umum daerah (RKUD) Provinsi Banten. Sehingga, kerugian yang timbul pada 2018 sebesar Rp65.396.036.300.
“Terdakwa Irvan Santoso dan Toton Surawinata melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak melakukan tahapan evaluasi sebagaimana mestinya sesuai ketentuan, serta tidak melakukan penelitian secara cermat atas proposal,” tuturnya.
Begitu pula dengan anggaran tahun 2020. JPU menyampaikan bahwa terdakwa Irvan Santoso dan Toton Surawinata tidak melakukan tahapan evaluasi dan penelitian sebagaimana mestinya. Hal tersebut membuat celah bagi terdakwa Agus Gunawan, Asep Subhi dan Epieh Saepudin untuk menjalankan aksinya.
Epieh Saepudin dalam menjalankan aksinya, menghubungi delapan pondok pesantren yang telah ditetapkan akan menerima bantuan hibah sebesar Rp30 juta per pondok pesantren. Epieh menyampaikan kepada delapan pondok pesatren tersebut bahwa untuk mencairkan bantuan hibah itu, mereka harus bersedia ‘belah semangka’ alias separuh dana hibah diberikan kepadanya.
“Separuh dana hibah uang masing-masing sebesar Rp15 juta dengan jumlah seluruhnya Rp120 juta,” katanya.
Sementara Agus Gunawan dan Tb. Asep Subhi menghubungi sebanyak 11 pondok pesantren yang telah ditetapkan oleh Biro Kesra akan menerima bantuan hibah ponpes, dan meminta sebagian dana hibah kepada mereka. Total uang yang dikantongi oleh keduanya sebesar Rp104 juta.
“Uang sejumlah Rp104 juta tersebut terdakwa Asep Subhi peroleh dari 11 pondok pesantren yang disiapkan di rumahnya,” ungkapnya.
Kelimanya didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP. (dzh/enk/bnn/gatot)