SATELITNEWS.ID, SERANG—Tiga terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan masker pada Dinkes Provinsi Banten dihadirkan sebagai saksi mahkota di Pengadilan Negeri Serang, Selasa (5/10). Agus Suryadinata menyesal telah menyebabkan terdakwa lainnya Lia Susanti terseret kasus pidana. Sedangkan Wahyudin tak menyangka tender pengadaan masker itu menyebabkannya harus menjalani persidangan.
Agus Suryadinata dalam kesaksiannya mengatakan bahwa niat awal dirinya mengambil proyek pengadaan masker, hanya sekadar mencari rezeki saja. Ia pun mencari sendiri proyek apa yang sekiranya bisa ia garap, hingga ketemu dengan proyek pengadaan masker tersebut.
Bahkan menurutnya, hasil dari pengadaan masker tersebut tidak sepenuhnya ia nikmati. Karena dalam pengadaan tersebut, ia harus membagi keuntungan dengan Wahyudin Firdaus selaku Direktur PT RAM yang telah meminjamkan bendera perusahaannya dan rekannya yang meminjamkan uang untuk modal awal pengadaan sebesar Rp500 juta.
“Dari Rp1,680 miliar, saya memberikan kepada Wahyudin sebesar Rp150 juta. Lalu ada uang operasional sebesar Rp50 juta, yang dibayar secara mencicil. Saya juga membayar modal awal kepada rekan sebesar Rp600 juta (lebih Rp100 juta dari pinjaman). Yang saya terima sebesar Rp880 juta. Saya akui uang itu untuk pembangunan rumah dua lantai,” ujarnya, Selasa (5/10).
Tatkala pengadaan masker tersebut terindikasi kelebihan bayar hingga sebesar Rp1,680 miliar, dirinya tidak sepakat. Karena menurutnya, besaran nominal tersebut merupakan keuntungan yang ia dapat dari usaha pengadaan masker.
Anggapan tersebut pun masih diyakini oleh Agus saat persidangan. Bahkan ketika majelis hakim menanyakan terkait dengan akan disitanya rumah dua lantai milik Agus yang dibangun dari uang hasil pengadaan masker, ia menolaknya.
“Rumah itu harusnya nggak harus disita. Karena itu merupakan hasil keuntungan saya di proyek masker. Keuntungan itu kan tidak terbatas,” tuturnya.
Selama proses pengadaan masker, Agus mengaku bahwa dirinya hanya berkomunikasi dengan Khania. Ia mengaku bahwa dirinya memang memperkenalkan diri sebagai kerabat Polda, meskipun tidak jelas terdengar motif dirinya mengaku demikian.
Wahyudin Firdaus dalam kesaksiannya, mengakui bahwa dirinya mendapatkan uang sebesar Rp150 juta dari Agus, sebagai fee atas peminjaman perusahaannya dalam pengadaan masker sebanyak 15 ribu pcs.
Mulanya, Wahyudin dihubungi oleh Agus melalui sambungan telepon, yang menerangkan bahwa dirinya ingin meminjam perusahaan yang ia pimpin untuk keperluan mengambil proyek masker di Dinkes Provinsi Banten.
Dalam proyek pengadaan masker tersebut, dirinya pun tidak mengeluarkan uang sepeser pun dari kas perusahaan. Sebab, Agus yang mengatur segalanya, bahkan hingga pada pengadaan maskernya sendiri.
“Barang disediakan melalui PT Berkah Mandiri Manunggal (BMM). Saya tidak mengeluarkan uang sepeser pun,” katanya.
Lia Susanti dalam keterangannya sejalan dengan keterangan Agus Suryadinata, bahwa dirinya tidak terlalu terlibat secara langsung dalam hal pengadaan masker. Sebab, tim pembantu teknis yang diwakili oleh Khania yang terlibat secara langsung.
Akan tetapi, ia tetap mengaku bahwa dirinya salah karena lupa memberikan SK pengangkatan Khania sebagai tim pembantu teknis PPK. Karena itu, selama pengadaan masker tersebut, Khania bergerak atas kewenangannya sebagai Kasi Kefarmasian dan Pangan.
Namun dalam proses pengadaannya, Lia tetap berpegang teguh bahwa segalanya sudah sesuai prosedur pengadaan barang/jasa selama masa pandemi. Bahkan adanya temuan pada pengadaan masker itu pun merupakan hasil dari permohonan audit yang dimohon oleh dirinya kepada Inspektorat, sesuai dengan surat edaran LKPP.
“Belajar dari pengalaman, saya menyadari bahwa menjadi PPK bebannya besar. Dalam rentang waktu yang sangat singkat, banyak sekali pengadaan yang besar dan harus dipenuhi. Namun memang saya merasa sudah menjalankan sesuai dengan aturannya. Tapi memang, menjadi PPK itu bukan hal yang mudah,” ungkapnya.
Dalam persidangan keterangan Lia Susanti, majelis hakim sempat menyinggung bahwa banyak sekali kerancuan yang terjadi dalam kasus tersebut. Sebab sebagai terdakwa, Lia seakan-akan tidak berbuat banyak. Segalanya dilakukan oleh Khania.
“Sebenarnya ini ada kerancuan yang terjadi dalam hal pengadaan yah. Kalau saya mendengarkan, tadi hampir seluruhnya diselesaikan oleh Khania ya,” ungkapnya.
Di akhir persidangan, masing-masing terdakwa diberikan kesempatan untuk menyampaikan seperti kata-kata penutup dalam persidangan. Hakim Ketua, Slamet, menuturkan bahwa mereka diberikan kesempatan di momentum sidang tatap muka ini untuk berbicara, sebelum kembali ke Rutan Pandeglang.
Lia Susanti dalam penutupannya mengatakan bahwa pengadaan masker yang bermasalah saat itu, terjadi pada awal pandemi Covid-19. Saat itu, pemerintah masih gagap dalam menghadapinya, sedangkan keperluan sangat mendesak dan langka.
“Namun memang aturan dan SOP dalam pengadaan masih belum ada atau belum lengkap. Saya selaku PPK sudah berusaha semaksimal mungkin walaupun dengan tugas yang sangat banyak dan berat. Tentu saja saya merasa bertanggungjawab,” ujarnya.
Agus mengaku bahwa dirinya menyesal telah melakukan pengadaan masker yang ternyata merugikan keuangan negara. Ia pun meminta maaf kepada Lia, karena pada akhirnya menyeret Lia dalam perkara tersebut.
“Yang pertama saya menyesal. Saya tidak tahu soal RAB, kalau saya tahu pun saya tidak akan mengambil proyek tersebut. Yang paling utama juga saya ingin meminta maaf kepada Ibu Lia, karena saya beliau jadi seperti ini. Sisanya saya mengaku dari awal niat saya baik, ingin mencari rezeki. tidak ada niat jelek apalagi korupsi,” katanya.
Sedangkan Wahyudin mengatakan bahwa sejak awal dirinya menerima proyek tersebut, karena prinsip yang ia pegang dalam pengadaan ialah semua benar mulai dari kuantitas maupun spesifikasi barang.
“Sudah 17 tahun saya di bidang alkes, masalah tender sudah saya alami, tapi tidak sampai ke jalur hukum. Semua tender pasti ada masalah, tapi semua selesai secara musyarawah. tidak seperti ini. Seandainya saya tahu akan seperti ini, pasti saya akan tolak,” tandasnya. (dzh/bnn/gatot)