SATELITNEWS.ID, TANGERANG—Anggota DPRD Kota Tangerang dari Fraksi PDI Perjuangan Andri S Permana, Sabtu (27/11/2021) sore memulai reses perdana tahun sidang 2021-2022 di Kantor Kelurahan Cimone, Jalan Proklamasi No 36, RT 004/RW 007, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang. Reses ini diikuti sekitar 50-an kaum ibu yang merupakan kader posyandu.
Mulai dari persoalan sarana posyandu seperti meubeler, plafon rusak, ketiadaan timbangan hingga gedung yang belum ada menjadi aspirasi yang disampaikan kepada ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Tangerang itu. Selain itu, salah satu yang menjadi concern Andri adalah permasalahan stunting. Namun tak cukup sampai di situ, wakil rakyat dari daerah pemilihan 1 (Tangerang dan Karawaci) ini juga mendapat aduan terjadinya eksploitasi anak dari aktivis Pusat Pelayanan Terpadu Perberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang perwakilan Karawaci, Dainah.
“Kebetulan waktu itu kejadiannya di pinggir Cisadane, ada ibu dengan dua anaknya satu digendong dan satu lagi dituntun. Mereka ngamen, nah pas saya tanya ibunya itu beralasan anaknya masih nyusu, jadi nggak mau ditinggal sama bapaknya,” jelasnya. Kemudian lanjut Dainah, sang suami perempuan yang membawa anaknya untuk mengamen baru saja kena PHK, padahal di sisi lain kontrakan harus dibayar selain untuk makan sehari-hari. “Nah bagaimana cara pemerintah menanggulangi hal ini?”katanya.
Selain eksploitasi anak, Dainah juga menyoroti Kota Tangerang yang belum memiliki rumah aman (safe house). Sebab berdasarkan pengalaman dirinya, sejumlah anak pernah berhadapan dengan hukum harusnya tinggal di rumah aman tersebut. “Anak yang berhadapan dengan hukum di bawah 14 tahun ada yang nama yang namanya diversi, penampungan si anak selama dia diversi mestinya ada di rumah aman karena kalau ditaruh di kantor polisi maka akan terkontiminasi dengan napi atau pun tahanan lain. Nah, bagaimana caranya supaya ada rumah aman di Kota Tangerang?” harapnya.
Menanggapi eksploitasi anak, Andri mengatakan tidak semata-mata berkaitan dengan perekomonian, namun adanya unsur sindikasi yang masuk dalam ranah pidana. “Yang sering itu adalah manusia silver, ondel-ondel dan badut yang membawa anak kecil,” ujarnya. Karenanya, menurut aktivis mahasiswa ini bila ada sindikasi perlu ada pendekatan hukum lain. “Harus melibatkan aparat penegak hukum,”ujarnya.
Tapi jika pun betul unsurnya hanya kemiskinan, sebetulnya pemerintah baik pusat maupun daerah sudah menyiapkan beragam skema jaring pengaman sosial (JPS). “Terkait permasalahan yang disampaikan karena PHK. Tunjukkan rumahnya di mana, ayo kita masukkan sebagai penerima manfaat bansos, yang kedua adalah mau usaha ga? Kalau mau usaha ayo ikut pelatihan. Tapi kalau setelah itu masih saja kembali ke jalan, berarti itu memang sindikat, sebab berdasarkan pengalaman saya itu memang ada bosnya, dan akhirnya pendekatan tidak lagi sosial” ucapnya.
Sementara terkait rumah aman, Andri pun setuju. Sebab bila anak-anak di bawah umur baik ketika menjadi saksi atau pun korban harus diberikan perlindungan. “Bila ditaruh di kantor polisi rentan,” ucapnya.
Tapi kewenangan itu ujarnya tidak ada di pemda. “Hasil diskusi saya dengan teman-teman LPSK (Lemba Perlindungan Saksi dan Korban), ini memang menjadi kewenangan LPSK,” ucapnya.
Sejauh ini katanya baru dua provinsi di Indonesia yang mempunya rumah aman yakni Sumatera Utara dan Yogyakarta. Namun begitu ujarnya dirinya sudah ada pertemuan dengan Ketua DPRD Banten untuk kita membuat MoU dalam hal ini Provinsi Banten dengan LPSK RI tepatnya 3 November lalu. “Karena memang harus di provinsi,” ujarnya. Pada bagian terakhir Andri juga menyerahkan bantuan makanan tambahan untuk balita dan ibu hami. (made)
Diskusi tentang ini post