KALAU seniman sudah ngobrol, temanya pasti apa saja, sesuai mood dan apa pun yang terlintas atau yang dirasa aktual dan relevan. Dari masalah seni itu sendiri hingga politik. Maklum, seniman (apalagi yang kere) adalah manusia yang tak luput dari resah dan gundah. Diantara yang tiba-tiba jadi bahan obrolan di kedai kopi misalnya: apakah pantas sebuah negara disebut demokratis jika institusi hukumnya bobrok, hingga mereka yang terjerat kasus korupsi bisa bikin fasilitas mewah di penjara. Tentu saja ada saja yang segera nyeletuk: demokrasi sontoloyo!
Apakah sebuah negara bisa dibilang demokratis, bila rezim atau pemerintah dikritik sedikit saja oleh rakyatnya, segera diperkarakan atau dipidanakan dengan seribu satu macam alasan, dari mulai alasan pencemaran nama baik dan lain sebagainya. Tidak jarang para aktivis lingkungan pun dijemput paksa untuk dimintai keterangan yang ujung-ujung dikriminalisasi di negeri ini. Bahkan tak jarang, lanjut yang lain, kriminalisasi juga dialami masyarakat atau wong cilik. Demokrasi kok menindas?! Sambung yang lain.
Memang, tidak sedikit teman-teman saya yang sinis ihwal keadaan hiruk-pikuk sosial politik Mungkin sebagai pelampiasan dari masalah yang mereka alami sendiri. Namun, suara mereka adalah suara kejujuran. Jujur karena berangkat dan bertolak dari kesusahan yang mereka alami dalam hidup keseharian mereka.
Yang lain bilang, susah lah demokrasi jadi bagus kalau masyarakatnya sendiri belum tercerahkan. Celetukan yang satu ini ini memang benar juga, dan segera menyentak nurani kesahajaan saya. Sebab tulung-punggung demokrasi memang adalah demos itu sendiri, rakyat atau warga negara.
Tidak ada demokrasi bila tidak ada partisipasi masyarakat atau warga negara. Partisipasi warga negara turut serta dalam proses politik dan kebijakan merupakan faktor dan penentu utama bila sebuah negara ingin disebut negara demokratis. Karenanya masyarakat yang tercerahkan dan aktif akan turut pula menentukan apakah sebuah negara demokratis ataukah sebaliknya.
Lalu seperti apakah masyarakat aktif itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, adalah relevan mengutip pandangan Amitai Etzioni tentang ideal masyarakat aktif. Ezioni mengemukakan bahwa masyarakat aktif adalah masyarakat yang memiliki kesadaran dan mampu mengubah kondisi sosial-politik negatif mereka. Tentu saja masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang memiliki pengetahuan atau masyarakat yang tercerahkan.
Sebagai salah-satu pengasas paham dan pandangan komunitarianisme, Etzioni juga menekankan pentingnya mendahulukan kepentingan bersama diatas ambisi individu yang membahayakan kehidupan sosial-politik. Lebih lanjut bahwa setiap orang, warga negara atau masyarakat membutuhkan solidaritas satu sama lainnya, karena acapkali struktur sosial-politik yang negatif menciptakan keterasingan.
Diantara untuk mengobati atau menghilangkan keterasingan itu tentu saja dengan menciptakan struktur sosial-politik yang tidak bertentangan dengan kebutuhan dasar manusia, kebutuhan afeksi, kasih-sayang, dan solidaritas. Karena manusia pada dasarnya membutuhkan konteks dan orientasi yang jelas bagi hidup dan masa depan mereka.
Masyarakat yang sehat dalam ideal Etzioni adalah masyarakat yang mendahulukan kekitaan atau kebersamaan di atas keakuan yang dominan dan berlebihan. Dalam bukunya, The Spirit of Community: Reinvention of American Society (1993), Etzioni menerangkan bahwa prinsip komunitarian itu contohnya berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas, tanpa puritanisme dan penindasan, tanpa kesemena-menaan atau kesewenang-wenangan.
Dengan kata lain, masyarakat yang sehat perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar kuat dan dalam dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Singkatnya, kekitaan yang tidak menindas keakuan dan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. (*)
*Sulaiman Djaya, pekerja budaya, tinggal di Serang, Banten
Diskusi tentang ini post