SATELITNEWS.ID, PANDEGLANG–Sejak tahun 1991 silam hingga kini, perambahan hutan di Puncak Gunung Karang sudah mencapai 1000 hektar. Dari luasan tak kurang dari 3000 hektar hutan lindung itu, sepertiganya sudah berubah menjadi perkebunan sayuran wortel, kentang dan jenis sayuran lainnya.
Siapa yang bertanggung jawab jika banjir bandang dan longsor menerjang ?, seperti peristiwa di kawasan Baros pada tahun 2018 silam. Air deras bercampur lumpur, bukan hanya menutupi akses Jalan Raya Pandeglang – Serang, tetapi dua wilayah Kabupaten di Provinsi Banten itu juga ikut terdampak.
Kabut tipis menyelimuti dinding kota ber ikon badak bercula satu. Ornamen penataan kota seperti gapura dan tugu jam, sulit dipandang. Pagi itu, Selasa (31/5) ternyata turun kabut dari puncak Gunung Karang, sehinga suhu dingin meningkat di kawasan Alun-alun Kota Pandeglang.
Mendengar sekilas cerita, keberadaan objek wisata Menara Selfi di kawasan Curug Remis Cibuang, di Puncak Gunung Karang. Menuntun penulis, wartawan Satelit News menuju Desa Kaduengang, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang. Di lokasi itu, tempat refreshing para anak remaja yang dibangun oleh para relawan dari Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Objek wisata itu wajar jadi buah bibir, hingga diperbincangkan warga disejumlah akun Media Sosial (Medsos). Karena memiki daya tarik tersendiri. Perjalanan menuju lokasi wisata tersebut cukup menguras energi, menantang, namun sulit dilupakan. Lantaran, letak menara selfi Curug Remis Cibuang, diatas ketingian 940 meter dari permukaan laut.
Untuk tiba di lokasi, dapat ditempuh melalui beberapa jalan alternatif, diantaranya, dapat melawati pintu masuk ruas Jalan Mohamad Idrus Cihaseum, Kelurahan Pandeglang. Selain itu, bisa melalui ruas Jalan Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung – Gunung Karang. Atau, bisa juga ditempuh melalui pintu gerbang gapura Yonif 320 Cadasari – Gunung Karang.
Namun, salah satu pintu masuk dari tiga ruas jalan itu, sama-sama memiliki jarak tempuh sejauh belasan kilometer.
Kami memilih, melewati pintu masuk Kelurahan Juhut menuju kaki Gunung Karang. Tak aneh jika bertemu jalan terjal dan bebatuan runcing. Sehingga jika tidak hati-hati, bisa terperosok ke jurang.
Setiba di ujung pemukiman warga Desa Kaduengang, Kecamatan Cadasari, terlihat para wisatawan yang terpaksa harus berjalan kaki menuju menara selfi sejauh 300 meter, dengan tanjakan kemiringan 40 derajat.
Sedikit rasa lelah berkurang, setelah disambut kabut tebal sejuknya alam, serta irama satwa liar, mulai dari lutung, kera dan burung berkicau. Namun sayang, suasana keindahan alam itu menipis, serasa kurang sempurna lantaran banyak kepulan asap di kanan kiri, para pembalak membakar hutan.
Sebagian warga juga sedang menggarap gundukan tanah, untuk menanam sayuran seperti kol, wortel dan kentang. Mereka hanya bermodalkan alat tradisional sejenis cangkul, seolah bebas seperti menanam di tanah garapan sendiri, padahal kawasan itu milik Perhutani. Di sebelah kanan kawasan objek wisata itu juga, terdapat air terjun biasa disebut Curug Remis Cibuang. Di kawasan itu, nampak jelas banyak kegundulan hutan disejumlah titik. Bahkan disebagian tebing-tebing gunung, sudah longsor.
Satu dua orang pengunjung berdatangan, hingga ramai ke sore hari menjelang tenggelamnya matahari. Rata-rata mereka para remaja, yang hobi jalan-jalan menikmati ketinggian, dan keasrian pegunungan. Di gubuk berukuran 2 x 2 meter, yang tidak jauh dari lokasi menara selfi, nampak pria berambut ikal meneguk secangkir teh hangat. Rupanya ia tengah menghangatkan tubuh dari dinginnya kabut, sembari menyaksikan para pengunjung.
Pria itu, ternyata Pak Yayan Suryaman namanya. Ia merupakan anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), sekaligus penggagas dan pengelola wisata Menara Selfi di kawasan tersebut.
Selain menyambut baik kedatangan wartawan Satelit News, ia pun menyuguhkan secarik teh panas sembari berceritra. Pria berperawakan kekar ini bercerita, wisata alam yang dibangun akhir 2018 ini masih serba keterbatasan. Mulai dari akses jalan, hingga sarana prasarana wisata selfi, masih terbuat dari bambu.
Meski demikian, ia berharap, objek wisata yang digagas bersama anggota lainnya itu, bisa mejadi peralihan sumber pendapatan warga sekitar. Yakni, dari semula pendapatnya dari hasil perkebunan, kedepan bisa beralih menjadi para pengelola wisata.
Menurutnya, para pelaku perambah hutan membuat gundul Gunung Karang. Bahkan, ia bersama para penggagas dari Perhutani itu meyakini, keindahan kaki Gunung Karang tiada tara jika menjadi fokus penataan pihak Pemeritah. Sehingga, bakal menjadi maget bagi para wisatawan.
“Beh lamun bener-bener di tata mah kang, kami yakin puncak nu aya di Bogor geh bisa kalah. (Kalau benar – benar di tata, kami yakin puncak di Bogor juga kalah),” kata Yayan, sambil mengajak naik ke menara Selfi.
Menara terbuat sederhana degan bahan bambu ini, memiiki ketinggian tujuh meter, dengan lebar enam meter persegi. Tentunya, berdiri diatas tanah milik Perhutani. Terlihat para remaja bergantian ingin menaiki menara tersebut, lantaran pengelola hanya menyarankan lima sampai 10 orang saja, untuk kapasitas diatas menara.
Siapa saja berada di atas menara ini, pasti terpesona oleh keindahan alamnya. Sehingga wajar, diyakini dapat menarik minat wisatawan dari berbagai penjuru. Itu pun jika ditata dan dibenahi dengan benar, terlebih dari para pembalak liar.
Dari titik ketinggian itu, kita juga bisa melihat pusat perkotaan Kabupaten Pandeglang, Kota Serang dan Kabupaten Serang, Provinsi Banten.
Yayan mengaku, inspirasi didirikan wisata tersebut, guna mengajak warga untuk berhenti membalak hutan. Karena kerusakan hutan lindung ini sudah mencapai puncak. Terhitung di kaki gunung perbatasan Blok Curug Remis Cibuang, Desa Kaduengang, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang.
Kondisi itu banyak dikhawatirkan sejumlah warga, khususnya yang tinggal di kaki Gunung Karang. Lantaran khawatir terjadi longsor dan banjir bandang.
Seperti peristiwa yang terjadi tiga tahun lalu. Banjir bandang pernah menerjang pemukiman warga di Kecamatan Baros, Kabupaten Serang. Banyak rumah dan tempat usaha hanyut, beserta kendaraan di ruas Jalan Pandeglang – Serang.
Ia memprediksi, jika terjadi longsor dan banjir bandang, akan terdampak ke sejumlah daerah di kaki gunung. “Kami membangun wisata selfi ini tidak lain guna mengurangi dampak bencana seperti banjir dan longsor. Namun kemampuan kami terbatas lantaran wisata ini hanya dibangun secara swadaya,” tuturnya.
Bagian Teknik Kehutanan Bidang Agraria Perhutani, Deni Rustandi membenarkan, atas kerusakan hutan ini sudah berlangsung puluhan tahun sejak 1991 silam. Kerusakan hutan ini, tersebar di sejumlah titik.
Menurutnya, perbatasan kawasan Desa Kaduengang, Kecamatan Cadasari, Desa Pasirpeteuy, Desa Juhut, Kecamatan Karangtanjung, Desa Pasirangin Kecamatan Majasari, Desa Salam, Kecamatan Kaduhejo, dan termasuk Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. Selain ini, kegundulan hutan juga terjadi di wilayah Baros dan Ciomas, Kabupaten Serang.
Pihaknya-pun sudah berupaya meminimalisir kerusakan hutan, dengan cara mengajak para pembalak untuk menanam pepohonan keras yang bernilai ekonomis. Seperti pala, cengkeh, namun tetap saja para pembalak menerobos hutan.
“Perambahan hutan ini sudah berlangsung sejak tahun 1991 silam, sampai sekarang. Lantaran kesadaran warga dalam menjaga hutan rendah. Areal Pegunungan seluas 3000 hektar itu, sekitar 1000 hektar sudah menjadi areal perkebunan sayuran,” kata Rustandi, menutup pembicaraannya. (mg1)