SATELITNEWS.ID, SERANG–Potret kemiskinan di Banten masih terhitung tinggi, jika dilihat dari angka kasus stunting dengan posisi peringkat ke enam, berjumlah 294.862 balita pada akhir tahun 2021.
Diiringi dengan kebijakan Pemerintah Pusat, tahun ini mewajibkan Pemprov dan Pemkab untuk mengalokasikan anggaran 40 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), untuk pemulihan ekonomi masyarakat. Kebijakan itu mendapatkan respons positif dari sejumlah pemerhati di Banten.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Encep Andriana menyarankan, Pemprov Banten bersama Pemkab dan Pemkot dapat mengalokasikan anggaran dari berjumlah triliunan tersebut lebih pada peningkatan ekonomi keluarga penderita stunting.
Sebab, kata dia, kasus balita kekurangan gizi ini mayoritas dipicu akibat faktor ekonomi yang lemah. Sehingga, menurutnya, jika tidak ditangani secara serius kedepannya akan berpengaruh bagi index pembangunan manusia.
“Kita tahu tahun ini APBD Banten mencapai dua belas triliunan rupiah, ditambah dari kabupaten kota. Jika ditotal bisa mencapai lima puluh triliun lebih. Jika 40 persennya ini bisa belasan atau puluhan triliun untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Kenapa tidak disisihkan dari anggaran itu yang menyentuh langsung bagi usaha keluarga. Khususnya keluarga penderita stunting,” kata Encep, kepada Satelit News, Rabu (29/6/2022).
Ia menilai, program pengentasan kemiskinan harus lebih efektif dan tepat sasaran jika masyarakat Banten ingin keluar dari kemiskinan. Tingginya kasus kemiskinan itu, jika tidak ditangani secara serius akan berpengaruh bagi mental generasi kedepan.
“Sementara kita kedepan sangat membutuhkan SDM (sumber daya manusia) yang handal kedepan untuk membangun Banten,” katanya lagi.
Sementara, Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Syeh Mansyur (STAISMAN) Pandeglang, Anas Ubaidillah berpendapat hal yang sama. Menurutnya, jangan sampai alokasi anggaran triliunan ini dinikmati bagian segelintir orang saja. Seperti pebisnis pemilik modal pengusaha menengah ke atas berbadan hukum Koperasi dan UMKM tanpa menyentuh masyarakat kecil.
“Sementara kondisi masyarakat kecil dengan serba keterbatasan usaha, tidak tersentuh. Itu akan memperlihatkan,” ujar Anas.
Anas berharap, para keluarga penderita stunting harus diberikan perhatian serius dari pemerintah buka hanya pendamping pemulihan kesehatan secara berkala. Namun ada pendampingan untuk peningkatan ekonomi keluarganya hingga tidak terulang kasus yang sama akibat keterbatasan asupan gizi pada keluarga tersebut.
“Pastinya harus serius penanganannya. Bukan hanya dilakukan penanganan media oleh petugas kesehatan juga dilakukan pendampingan untuk peningkatan ekonomi keluarganya. Agar masalah ini tidak berulang pada kelahiran anak selanjutnya akibat minim gizi,’ ucapnya.
Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten, M. Trenggono mengaku, sudah membahas masalah stunting dalam rapat pembahasan isu strategis untuk percepatan pembangunan Banten bersama sejumlah perwakilan OPD di Ruang Rapat Pendopo Gubernur Banten, KP3B Curug, Kota Serang, pada Selasa (28/6/2022) lalu.
Ia pun berharap, pada tahun 2024 mendatang angka status stunting bisa mencapai menurun hingga mencapai 14 persen. “Stunting pada tahun 2024, Provinsi Banten harus 14 persen. Bahkan diharapkan bisa sampai nol persen karena usaha yang dilakukan bersama,” ujar Trenggono.
Ia tak membantah, jika stunting sangat berkaitan dengan masalah kemiskinan terstruktur pada perekonomian keluarga. “Terkait peningkatan pertumbuhan ekonomi, Pemprov Banten fokus pada UMKM dan koperasi. Serta E-Katalog lokal untuk fasilitasi UMKM dan koperasi di Provinsi Banten,’ pungkasnya.
Trenggono menghitung dan memperkirakan, anggaran untuk peningkatan ekonomi lokal cukup fantastis jika 40 pesan dari APBD. Tahun ini, kata dia, APBD Pemprov Banten mencapai Rp12 triliun. Maka jika digabungkan dengan APBD Kabupaten dan Kota hampir mencapai Rp 50 triliun.
“Saya pun berharap, harusnya ini bergerak Provinsi Banten, ajak oara pelaku UMKM di katalog lokal,” imbuhnya. (mg1)