SATELITNEWS.ID, SERANG—Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Banten dilaporkan kuasa hukum ahli waris Rasim bin Madhari ke Kejati Banten dengan tuduhan melakukan penyerobotan lahan. Disperkim dituding menyerobot lahan warga seluas 6.400 meter persegi di Desa Rancaseneng, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang untuk pembangunan Ruang Terbuka Publik (RTP) di lokasi tersebut.
Pihak kuasa hukum mengklaim tanah itu merupakan milik ahli waris, berdasarkan dading atau perdamaian yang dilangsungkan di PN Pandeglang pada 1998 lalu. Kendati demikian, kuasa hukum mengaku tidak tahu menahu terkait dengan dokumen dading yang dimaksud.
Kuasa hukum ahli waris, Wahyudi mengatakan bahwa pihaknya sampai saat ini masih belum melihat dokumen dading yang dimaksud oleh warga. Akan tetapi menurutnya, dading tersebut diakomodir dalam putusan pengadilan.
“Kalau dokumen dadingnya, saya belum pernah melihat sebetulnya. Tetapi dading itu diakomodir dalam putusan yang tersirat pada putusan tahun 1998 itu,” ujarnya saat diwawancara oleh awak media di Kejati Banten, Selasa (5/7).
Menurutnya, dalam putusan pengadilan atas dading tersebut telah memutuskan jika tanah lapangan yang tengah disengketakan oleh kliennya, merupakan milik Rasim. Namun ia pun tidak tahu apakah dalam dading itu, menyebutkan adanya tukar guling tanah lapang itu dengan tiga bidang tanah lainnya.
“Sampai dengan saat ini saya belum pernah melihat itu. Artinya itu juga menjadi pertanyaan, apabila memang ada, tersirat jika itu tukar guling, saya ingin lihat. Tapi yang jelas dalam dading itu, tidak disinggung tiga bidang ditukar dengan lapangan,” katanya.
Wahyudi mengatakan bahwa pelaporan yang dilakukan oleh pihaknya ke Kejati Banten merupakan upaya kesekian kalinya. Sebab, berbagai upaya yang telah pihaknya lakukan tidak kunjung mendapatkan hasil.
“Laporan ini merupakan follow up kami, karena beberapa hal yang kami lakukan tidak ditanggapi. Ada balasan juga tidak memuaskan, kita juga membuka ruang untuk berdiskusi bersama dengan DPRKP Banten dan pihak-pihak lain yang terkait. Tapi sampai saat ini belum ada informasi yang datang ke saya, baik undangan atau bentuk lainnya,” tuturnya.
Menurut Wahyudi, pihaknya mengambil langkah hukum untuk melaporkan dugaan penyerobotan itu ke Kejati Banten karena terduga penyerobot merupakan pihak pemerintah.
“Pembangunnya juga dinas atau OPD, saya berpikir ini ada korelasinya dengan Kejaksaan Tinggi Banten, perlu diperiksa dan diperdalam. Apakah ini benar atau seperti apa. Intinya kami mengadu sebagai ahli waris,” ungkapnya.
Sebelumnya, Kepala Disperkim Banten M Rachmat Rogianto telah menjawab somasi yang dilayangkan ahli waris terkait dugaan penyerobotan lahan itu. Dalam jawabannya, Rachmat menegaskan bahwa lahan untuk ruang terbuka publik tersebut sudah sesuai dengan Keputusan Bupati Pandeglang Nomor 600 tentang Penetapan Lokasi Perumahan dan Permukiman Kumuh di Desa Rancaseneng Kecamatan Cikeusik. Disperkim Banten juga mengklaim telah melibatkan aparat pemerintah desa dan tokoh-tokoh masyarakat setempat dalam melakukan penyusunan detail enginering design ruang terbuka publik tersebut.
“Dijelaskan oleh Diperkim bahwa RTB direncanakan pada tahun 2019, dibangun pada 2022 berdasarkan informasi dari pemerintah Desa Rancaseneng lahan tersebut tidak dalam sengketa dan hasil pembangunannya diserahkan dan digunakan untuk kepentingan masyarakat. Selain itu, Disperkim Banten juga menyampaikan bahwa pihak desa dan, tokoh masyarakat sudah meyakinkan dan mengakui bahwa tersebut milik Desa Rancaseneng, serta meminta tanah lapangan Cangkore untuk dijadikan RTB,” ungkap Wahyudi, Minggu (19/6).
Terkait somasi tersebut, Dinas Perkim Provinsi Banten telah melakukan audiensi dengan Pemerintah Desa Rancaseneng dan tokoh masyarakat setempat pada Rabu (22/6). Dalam audiensi itu terungkap bahwa terjadi dading yang dilanggar antara Rasim dengan warga. Dading yang dilanggar yakni terkait tukar guling tanah yang saat ini disengketakan dengan tiga bidang tanah pengganti.
“Dulu tanah itu sudah diganti rugi garapan karena itu statusnya tanah negara. Itu semenjak zaman belum terbentuknya Desa Rancaseneng. Masyarakat iuran dengan bergotong royong mengganti rugi garapan kepada Almarhum Haji Rasim,” ujar mantan Kepala Desa Rancaseneng periode 1998-2007, Duriyat.
Pembayaran ganti rugi tersebut agar masyarakat dapat menggunakan tanah negara untuk kepentingan publik, setelah tanah itu diklaim sebagai tanah milik Rasim. Sengketa pun terjadi hingga akhirnya masuk ke meja hijau.
“Ternyata keputusan pengadilan itu adalah keputusan yang berdasarkan atas perdamaian atau dading,” katanya.
Isi dari perdamaian tersebut menurutnya, mewajibkan kepada Rasim untuk memberikan tiga bidang tanah kepada masyarakat. Sebagai gantinya Rasim dapat menguasai tanah negara yang berbentuk lapangan tersebut.
“Masyarakat melalui Haji Pendi diberi tiga tempat lahan sebagai pengganti tanah lapangan yaitu tanah di depan Pasar Rancaseneng, di belakangnya dan satu lagi di dekat lapangan. Kalau tiga tempat itu dikasihkan kepada masyarakat maka tanah lapangan itu diberikan kepada Almarhum bapak Rasim,” ungkapnya.
Namun ternyata menurutnya, tiga bidang tanah yang diberikan, dijual lagi oleh Rasim kepada pihak lain. Dengan demikian, Rasim pun telah melanggar perjanjian damai yang telah disepakati di PN Pandeglang.
“Masa tanah pemberiannya diambil, lapangan punya masyarakat mau diambil juga? Kan secara otomatis tidak begitu. Yang namanya tukar-tukaran kalau yang salah satunya sudah diambil, maka sah tidak itu tukar gulingnya? Kan enggak sah,” tegasnya. (dzh/bnn/gatot)