SATELITNEWS.ID, SERANG—Kepala kejaksaan Tinggi (Kajati) Banten Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyatakan keadilan restoratif atau restorative justice tak banyak diketahui masyarakat. Itu sebabnya dalam dua tahun terakhir, hanya 17 perkara yang dihentikan melalui keadilan restoratif.
Leo menjelaskan diperlukan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan kebijakan penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif. Hal itu agar perkara-perkara ringan yang dapat selesai dengan perdamaian, tidak perlu sampai ke ranah pidana.
“Karena tadi saya katakan, sejak 2020 hingga 2022 itu baru hanya 17 perkara yang dihentikan berdasarkan restorative justice. Padahal kan sebenarnya banyak yang bisa dilakukan RJ dengan perkara-perkara ringan, yang tuntutannya di bawah lima tahun,” terangnya usai seminar nasional Restorative Justice di Untirta, Rabu (6/7).
Leo mengaku bahwa rendahnya pelaksanaan RJ dalam kurun waktu dua tahun ke belakang, akibat masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui terkait dengan RJ. Sehingga, diharapkan masyarakat dapat mengetahui terkait kebijakan itu, dan lebih memilih keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara.
“Maka dari itu, saat ini RJ harus benar-benar disosialisasikan kepada masyarakat, agar RJ ini bisa diterapkan di seluruh masyarakat Banten. Karena RJ ini merupakan penyelesaian perkara yang berdasarkan kearifan lokal,” tuturnya.
Ia menuturkan, RJ sangat baik untuk korban, pelaku maupun masyarakat. Sebab, RJ akan berfokus pada penyelesaian perkara dengan mengembalikan kondisi menjadi seperti semula. Dengan demikian, korban tidak akan merasa jadi korban dengan RJ. Begitu pula dengan pelaku.
“Restorative Justice itu kan me-restore kepada keadaan semula. Si korban merasa jadi korban, kita restore agar si korban ini tidak lagi menjadi korban. Dengan cara apa? Tentu dengan memaafkan pelaku. Begitu juga dengan pelaku,” ungkapnya.
Menurutnya, ketika terjadi tindak kejahatan di lingkungan masyarakat, tentunya akan mengganggu kondusifitas masyarakat. Rasa canggung dan was-was pun akan muncul. Hal itu yang perlu dikembalikan seperti semula, melalui kebijakan RJ.
“Ketika restorative justice, itu kan kepentingan korban dan tersangka beserta masyarakat. Nah ketika dihentikan, bagaimana peranan semua pihak agar si pelaku bisa dibina dan kembali ke masyarakat. Maka ini yang tengah kita diskusikan bersama dengan akademisi, agar pelaksanaannya efektif,” ucapnya.
Wakil Kepala Kejati Banten, Marang, mengatakan bahwa Criminal Justice System yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, memiliki kebijakan untuk menyelesaikan perkara dengan mekanisme RJ. Hal ini membuat peluang perdamaian antara korban dan pelaku pun semakin besar.
“Bahkan di Lembaga Pemasyarakatan juga memiliki kebijakan tersebut. Jadi ini harus kita dukung karena jika tidak kasihan untuk mereka yang perkara ringan,” tandasnya. (dzh/bnn/gatot)