SATELITNEWS.ID, TANGERANG—Sosok Soekasti (94) adalah perempuan pejuang Kemerdekaan RI yang sejak remaja bergabung di Laskar Puteri Indonesia di Kota Solo, Jawa Tengah. Saat itu usianya baru beranjak 17 tahun. Soekasti berjuang bersama laskar yang dihimpun oleh Ibu Tien Soeharto.
Ditemui di kediamannya Jalan Elang VII Blok KB VI Nomor 6 RT 05 RW 11 Kelurahan Gebang Raya Kecamatan Periuk, Kota Tangerang, Soekasti yang sudah menggunakan alat bantu berjalan tetap tampak sehat dan bersemangat menceritakan kisahnya bergerilya berjuang merebut kemerdekaan RI.
Soekasti dan perempuan pejuang lainnya yang bergabung dididik oleh pejuang-pejuang lainnya yang berasal dari tentara PETA atau satuan militer yang dibentuk oleh Jepang di masa kependudukannya. “Laskar itu semacam tentara saat itu, kalau laskar itu nggak dipersiapkan tetapi turut berjuang untuk kemerdekaan,” ujarnya belum lama ini.
Lebih lanjut Soekasti mengatakan, perjuangannya pertama kali adalah berjuang di front terdepan, mengantarkan makanan untuk pejuang, kemudian berjaga di stasiun. Salah satunya menjaga orang-orang yang berpura-pura hamil padahal isinya terdapat barang-barang perdagangan yang dilarang saat itu. “Berjuang sebisanya saja, kalau kita mau makan kita di laskar cari makan sendiri, begitu juga kalau butuh senjata maka mencari sendiri,” katanya.
Seiring waktu, Soekasti bersama dua pejuang perempuan lainnya dipercaya menjadi Caraka atau utusan oleh Gubernur Militer Solo Semarang Pati dan Madiun (GMSSPM). Saat agresi militer ke II, Jenderal Soedirman memutuskan bergerilya melawan Belanda yang melanggar perjanjian. Soekasti bertugas memastikan tempat atau jalur yang aman yang dapat dijadikan jalan keluar oleh pejuang jika sewaktu-waktu disergap oleh musuh.
“Selain mengantarkan surat, Caraka bertugas meneliti tempat misalkan ke sana hutannya kondisinya seperti ini. Kalau lewat jembatan seperti ini, harus hapal sewaktu-waktu disergap bisa memberi jalan untuk keluar,” ungkap Soekasti yang mampu berbahasa Belanda ini. Kemudian Soekasti juga diberikan tugas ke Pura Mangkunegaran Surakarta. Soekasti memastikan secara tertulis sikap Raja Mangkunegoro berpihak apakah ke Indonesia atau ke Belanda. “Untuk masuk ke Pura (Mangkunegaran) sulitnya setengah mati tetapi dengan bantuan orang-orang didalamnya saya berhasil ketemu secara langsung dan memastikan Mangkunegoro setia ke Republik (Indonesia), “pungkasnya.
Soekasti terkenang semangat berkobar yang digelorakan oleh Bung Tomo setiap pagi melalui radio. Semangat itu yang mengajak pemuda-pemudi dari Sabang sampai Merauke bersatu menolak kembali kedatangan Belanda setelah kekalahan Jepang dalam perang Asia Pasifik atas sekutu dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
“Bung Tomo itu teriak-teriak lewat udara membangunkan kita, bangkitkan semangat kita supaya bersatu melawan jangan sampai mau dijajah lagi. Nah itu akhirnya kita melawan semua dari Sabang sampai Merauke itulah terjadinya revolusi,” ujar Soekasti. Menurutnya pesannya dari peristiwa tersebut adalah perjuangan dapat dilakukan meski tanpa disertai modal apapun. Saat itu pejuang hanya bermodalkan semangat bersatu yang membara untuk satu tujuan yaitu memiliki pemerintahan sendiri. “Pemuda-pemudi menolak Belanda ambil Indonesia untuk dijajah lagi,” katanya.
Soekasti menyebut perjuangan melawan penjajah lebih mudah dilakukan daripada perjuangan generasi muda saat ini melawan penjajahan era modern. “Saat ini saya sebagai orangtua sebetulnya saya tidak pernah merasa istimewa, sama, saat ini kita semua pejuang, kalau veteran berjuang melawan Belanda merebut kemerdekaan kalau sekarang berjuangnya lebih berat, anak-anak muda melawan narkoba, berjuang meningkatkan persatuan yang sekarang sekadar di mulut saja, semangat nasional terlihat sudah jeblok sekarang, harus dibangkitkan kembali semangat nasionalnya,” ungkapnya.
Soekasti meminta generasi muda dapat membayangkan perjuangan pahlawan kemerdekaan di masa itu yang tak memiliki modal apapun, kecanggihan hingga harta benda. Namun saat itu dapat maju dan berhasil dikarenakan memiliki semangat persatuan dan kesatuan yang tinggi. “Ini yang harus dicermati, kita semangat dan bersatu harapan saya anak-anak sekarang ditingkatkan pembinaannya terkait semangat nasionalisme,” ungkapnya.
Agresi militer Belanda ke II tahun 1948 berakhir dengan angkat kakinya Belanda dari tanah air. Pemerintah RI saat itu membuka kesempatan bagi pejuang yang ingin melanjutkan menjadi Tentara RI. Soekasti yang telah berumah tangga memilih tetap berada di Laskar Puteri Indonesia dengan menjadi bagian dari Divisi Tulanggeni.
Dalam perjalanannya, Soekasti turut membidani kelahiran organisasi Korps Wanita Veteran Indonesia (Kowaveri). Gagasan pendirian Kowaveri berawal dari keinginan ibu Tien Soeharto selaku pendiri Laskar Puteri Indonesia mengadakan reuni antar mantan anggota laskar. “Pada tahun 1976 diadakan reuni akbar laskar, saat itu dibicarakan wadah yang dapat dibentuk untuk mempersatukan gerak langkah selanjutnya. Lalu disepakati pembentukan Yayasan Wirawati Catur Panca,” katanya.
Yayasan memiliki kegiatan melestarikan jiwa semangat nasional, bakti sosial dan membantu sesama pejuang yang membutuhkan pertolongan. Pendirian yayasan Wirawati Catur Panca mendorong berdirinya Kowaleri pada tahun 1978 dalam Munas IV LVRI di Jakarta. Soekasti aktif sebagai pengurus Kowaveri DKI Jakarta. “Akhirnya pejuang perempuan punya korps sendiri di luar LVRI, saya saat ini satu-satunya perempuan pejuang kemerdekaan dari unsur Laskar yang masih hidup,” tutupnya.(made)