PANDEMI COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) terus menyebar luas di tanah air khususnya di ibu kota Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Masyarakat, pemerintah maupun dunia bisnis dan ekonomi sangat terdampak oleh bencana nasional ini.
Di tengah ancaman pandemi COVID-19, Jakarta dan kota-kota penyangga ibu kota belum sepenuhnya dapat menjalankan metode social distancing yang diharapkan sebagai solusi paling tepat saat ini untuk mencegah dan memutus penyebaran virus corona dengan membatasi kontak langsung antara satu orang dengan orang lain.
Terlihat masih banyak pekerja yang beraktifitas baik dari daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi yang berangkat ke Jakarta yang notabene masuk kategori zona merah ataupun yang tempat kerjanya di daerah demi memenuhi tanggung jawab terhadap perusahaan. Perusahaan yang terdampak COVID-19 tidak punya pilihan selain menginstruksikan sebagian karyawan tetap masuk kerja.
Kondisi ini menggambarkan betapa beresikonya para pekerja yang masih beraktifitas di luar rumah dan hal ini menjadi salah satu faktor penghambat upaya memutus rantai penyebaran COVID-19. Resiko yang dihadapi para pekerja tentu tidak hanya pada diri mereka sendiri, namun juga keluarga, tetangga bahkan warga di sekitarnya ketika mereka kembali dari kantor atau lapangan.
Berbagai himbauan supaya masyarakat tidak keluar rumah atau social distancing terus disosialisasikan oleh pemerintah pusat maupun daerah, namun himbauan ini tidak ada yang secara resmi dapat membebaskan para pekerja dari tanggung jawabnya tetap bekerja di kantor atau lapangan sesuai kebijakan perusahaan, walaupun tidak sedikit perusahaan yang dengan serius menjalankan himbauan tersebut dengan membatasi operasional dan memberlakukan metode kerja dari rumah atau WHF (Working From Home) bagi para karyawannya.
Disrupsi oleh pandemic COVID-19 menjadi tantangan yang sangat berat buat dunia industri maupun perusahaan, terutama mereka yang sangat bergantung pada operasional sehari-hari ataupun perusahaan penyedia utilitas dan kebutuhan dasar masyarakat seperti air, energi dan media komunikasi, dimana mereka harus memenuhi tanggung jawab terhadap orang banyak disamping juga harus memenuhi tanggung jawab kepada para pekerja dan stakeholder.
Di tengah wabah yang semakin menyebar luas, dengan upaya-upaya terbaik yang telah dilakukan oleh semua pihak, menjaga kelangsungan perusahaan versus menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja yang notabene sebagai asset utama perusahaan pada akhirnya berpotensi menjadi trade-off.
Bagaimana kebijakan perusahaan yang menginstruksikan karyawan tetap masuk kerja dilihat dari aspek etika moral?
Menurut Velasquez dan Manuel (2013:7): “ perilaku etis adalah strategi bisnis jangka panjang terbaik bagi perusahaan. Namun tidak berarti bahwa perilaku etis selalu dihargai atau perilaku yang tidak etis selalu dihukum. Sebaliknya, perilaku tidak etis kadang membuahkan hasil, dan orang baik terkadang kalah. Mengatakan bahwa perilaku etis adalah strategi bisnis jangka panjang terbaik hanya berarti bahwa, dalam jangka panjang dan sebagian besar, perilaku etis dapat memberikan perusahaan keunggulan kompetitif yang signifikan atas perusahaan yang tidak etis”.
Lantas apakah kebijakan perusahaan menginstruksikan pekerja tetap masuk kerja di tengah pandemi COVID-19 memenuhi prinsip etika moral? Dari sudut pandang utilitarian, “tindakan yang benar adalah tindakan yang memberi orang banyak manfaat, sekaligus meminimalkan bahaya” (Velasquez dan Manuel, 2013:82).
Sudut pandang ini menjelaskan suatu tindakan dianggap bermoral jika prinsip dasar dipenuhi yaitu dapat memaksimalkan utility banyak orang, walaupun pada kenyataannya tindakan tersebut dapat dianggap unjust atau melanggar human right. Jika berpedoman pada padangan utilitarian yang melihat suatu kebijakan seharusnya dievaluasi dengan pertimbangan keuntungan dan biaya yang diproduksi dari kebijakan tersebut (Velasquez & Manual, 2013: 84), isu etika moral dari kebijakan perusahaan memberlakukan aturan tetap bekerja di kantor atau lapangan di tengah wabah corona, sangat memungkinkan menjadi perdebatan.
Kebijakan mewajibkan sebagian pekerja tetap masuk dengan tujuan menjaga kelangsungan hidup perusahaan dan pekerja, memaksimalkan kemakmuran stockholder, serta memberi dampak terhadap roda perekonomian nasional dapat diterima utilitarian sebagai tindakan yang bermoral karena memenuhi unsur maximizing utility terhadap orang banyak.
Pada kenyataannya pandangan ini jelas dapat dikritik karena terlihat secara jelas berpotensi membahayakan kesehatan dan keselamatan pekerja, mengabaikan hak hidup pekerja serta tidak adil bagi pekerja yang masuk sementara yang lain diperbolehkan bekerja dari rumah.
Namun berdasarkan formulasi Categorical Imperative kedua oleh Krant, dijelaskan bahwa seorang karyawan dapat secara sah diminta untuk melakukan tugas-tugas tidak menyenangkan atau bahkan berbahaya jika karyawan tersebut secara bebas dan rasional menyetujui melakukan pekerjaan tersebut dan mengetahui ada unsur bahaya dalam tugas tersebut, meskipun formulasinya juga menyatakan bahwa manusia berhak untuk bebas dari cedera (Velasquez & Manual, 2013: 107).
Selanjutnya dilihat dari sudut pandang libertarian, Robert Nozick menyatakan bahwa satu-satunya hak dasar yang dimiliki manusia adalah hak negative yaitu hak untuk bebas dari gangguan orang lain. Dari sudut pandang ini pihak pekerja dapat mengklaim hak untuk tidak terluka dan perusahaan bertanggung jawab untuk tidak melukai pekerja atau menyediakan karyawan kondisi kerja yang aman.
Di lingkup ketenagakerjaan Indonesia prinsip ini berkekuatan hukum dan diatur pelaksanaannya oleh pemerintah melalui undang-undang ketenagakerjaan yaitu pasal 86 dimana disebut bahwa “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja”.
Berbeda dengan pandangan utilitarian, oleh pandangan libertarian kebijakan perusahaan di atas dapat dianggap tidak bermoral karena perusahaan tidak memenuhi tanggung jawabnya untuk menjaga kesehatan dan keselamatan karyawan, melindungi hak hidup karyawan dan perlakuan adil terhadap semua karyawan.
Namun demikian paham libertarian juga rentan menimbulkan konflik kepentingan dimana terdapat banyak kebebasan yang di dalamnya melibatkan dua atau lebih pihak yang sama-sama dapat mengklaim kebebasan tersebut. Di satu sisi melindungi kebebasan pekerja namun di sisi lain melindungi kebebasan korporasi untuk menggunakan sumber daya dan kapasitasnya termasuk kebebasan dalam menjalankan kebijakan yang membatasi kebebasan pekerja.
Jika berpedoman pada paham libertarian dengan asumsi satu pihak harus rela mengorbankan kebebasannya demi kebebasan pihak lain dan undang-undang ketenagakerjaan pasal 86, dalam kondisi saat ini karyawan seharusnya berhak atas jaminan kesehatan dan keselamatan dari perusahaan namun di sisi lain karyawan juga bertanggung jawab menjalankan etika profesionalisme kerja, salah satunya dengan tunduk terhadap peraturan maupun kebijakan perusahaan selama itu dianggap sejalan dengan hati nurani karyawan.
Lantas jika dihadapkan pada situasi yang dihadapi oleh perusahaan saat ini, apakah perusahaan harus menghentikan operasional secara penuh atau tetap menjalankannya secara terbatas? Apa yang dapat dilakukan supaya kebijakan yang dikeluarkan tidak memunculkan isu unethical namun dapat memaksimalkan utility semua stakeholder?
Perusahaan sebaiknya mengeluarkan kebijakan dengan didasari tindakan mitigasi yang sistematis dan menyeluruh dengan melakukan langkah-langkah meliputi koordinasi dengan semua stakeholder, mengevaluasi kondisi area kantor atau lapangan apakah termasuk zona aman atau beresiko, mengevaluasi pekerjaan yang dapat ditunda dan yang harus tetap dijalankan, mengevaluasi pekerjaan yang harus dikerjakan di kantor atau lapangan, mengevaluasi pekerjaan yang dapat dikerjakan dari rumah, membangun sistem yang mendukung pekerjaan dapat dilakukan dari rumah, memetakan resiko semua pekerja yang harus bekerja di kantor ataupun lapangan berdasarkan faktor kesehatan, usia, gender, kategori ibu hamil atau ibu yang mempunyai balita atau bayi, tempat tinggal, moda transportasi yang digunakan dan rute yang dilalui para pekerja ke tempat kerja.
Mitigasi tersebut menjadi acuan perusahaan dalam membuat kebijakan namun dengan memegang prinsip dasar bahwa kesehatan dan keselamatan karyawan adalah yang paling utama, kebijakan harus mengandung resiko yang paling kecil bagi pekerja, perusahaan bertanggung jawab memfasilitasi dan mempersiapkan protokol, program dan fasilitas pencegahan dan penanganan COVID-19, serta alat pelindung diri yang mandatory digunakan di area kerja.
Perusahaan juga bertanggung jawab memantau kondisi kesehatan setiap karyawan setiap hari dan mendukung penuh proses pengobatan ketika menemukan atau ditemukan karyawan terpapar COVID-19 hingga sembuh, menjalin komunikasi dan selalu melibatkan semua karyawan dalam menyusun dan menjalankan kebijakan, sehingga aspek justice dan fairness juga terpenuhi.
Dengan upaya dan ikhtiar terbaik oleh semua pihak, optimis perusahaan dan karyawan dapat bahu-membahu melewati krisis dengan tetap sustain. Namun dalam kondisi dimana penyebaran virus sudah dalam tahap sangat darurat, maka kesehatan dan keselamatan pekerja harus menjadi prioritas utama perusahaan dan karyawan itu sendiri.
Semoga pandemi COVID-19 segera berakhir di negara yang kita cintai ini dan semua pihak bisa bangkit dengan cepat untuk berkontribusi dalam pemulihan semua sektor dan lini kehidupan. (*)
(Mahasiswa Magister FEB UGM Jakarta)
Diskusi tentang ini post