SATELITNEWS.COM, TANGERANG—Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang mencatat terdapat 145 kasus kekerasan perempuan dan anak. Data itu terhitung sejak Januari hingga Oktober 2022.
“Untuk 2020-2021 inikan Covid-19 memang naik ini ya, karena sudah mulai longgar,” ujar Sekretaris P2TP2A Kota Tangerang, Titto Chairil Yustiadi saat ditemui. Dari 145 kasus, terdapat empat kategori yakni kekerasan gender berbasis daring, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan perempuan, dan kekerasan terhadap anak yang paling mendominasi.
Sedangkan, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam kurun waktu periode Januari sampai September 2021 tercatat ada 101 kasus, dan kekerasan terhadap anak yang paling mendominasi. Titto mengungkapkan, saat ini pihaknya tengah melakukan pendampingan terhadap korban maupun pelaku kekerasan anak dalam insiden tawuran yang terjadi belakangan ini.
“Untuk kasus kasus kekerasan dalam hal ini adalah tawuran jadi di P2TP2A ini baik korban maupun pelaku pasti kita dampingi. Jadi Pemkot Tangerang tidak menutup mata atas kasus-kasus itu,” katanya. “Kita terus sinergi sama unit PPA terutama di Polres, jadi selalu tek-tokan kalau ada kasus tawuran ngontak kita sebagai pendamping,” imbuhnya.
Sejauh ini, aksi nyata yang dilakukan P2TP2A terhadap kasus kasus tersebut salah satunya dengan upaya preventif di 13 kecamatan Kota Tangerang melalui program Perlindungan Terpadu Berbasis Masyarakat (PTBM).
“Jadi lewat PTBM ini kita meminta bantuan masyarakat untuk hadir, kita kasih semacam simulasi mulai dari apabila ditemui kasus kekerasan hal pertama yang dilakukan apa, kemudian sampai pemahaman,” katanya. Adapun pendampingan yang dilakukan P2TP2A kepada pelaku yakni dengan melakukan pendampingan berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian.
“Seperti kasus tawuran, jadi selama proses BAP itu kita berikan konseling di sana, kita ajak psikolog juga ke sana biar tau secara kejiwaan harus seperti apa penanganannya terhadap siswa siswa yang punya karakter seperti ini,” tuturnya.
“Kemudian ini juga disampaikan ke kepolisian hasil konseling ini untuk supaya dari kepolisian, biasanya tuh kasus seperti ini, hakim minta pertimbangan konseling psikolog, jadi hasilnya seperti apa untuk nanti memutuskan,” lanjutnya. Kemudian untuk kasus lain misalnya pemerkosaan menurut Titto lebih rumit penanganannya. Sebab butuh kehati hatian dan penanganan lebih intens agar korban tak mengalami traumatis.
“Jadi kalau kasus pemerkosaan ini beda-beda penanganannya, tergantung psikologis korban. Biasanya penanganan jauh lebih pelan pelan dan intens. Berbeda dengan kasus seperti KDRT, kalau itu mungkin satu sampai dua kali konseling psikologis traumatisnya sudah bisa diredam. Kalo kasus kasus berat seperti pemerkosaan itu biasanya beberapa kali konseling,” paparnya. (mg03)